Teman Sepermainan

393 35 1
                                    

Setahun berlalu.
Gemericik air sungai berdenting laksana sebuah orkestra yang harmonis. Sesekali cericip anak burung di sela dahan menimpali merdu serasi. Aku membiarkan sebahagian kaki dipermainkan derasnya arus sungai. Inilah tempat ternyaman buatku setiap kali liburan tiba. Setelah berkutat dengan riuhnya formula dan angka yang menderu laksana denting pedang mahabarata maka   berlama-lama di tempat ini adalah pilihan yang tepat. Hanya untuk memandangi beningnya aliran yang menyusuri sela-sela bebatuan yang tergeletak tak beraturan. Kusedut perlahan setiap ketenangan yang terpapar di sini. Hingga tiba-tiba ....

"Hei gadisku Ainin Shofia, mengapa kau melamun saja." Sebuah suara cempreng berdendang tak beraturan membuyarkan lamunanku.

"Duh kamu bikin kaget aja ih!" sergahku dengan sedikit kesal.

"Apa yang kamu pikirkan, cantik? Jauh sekali pandanganmu, awas lho ntar di bawa kabur  Jaka Sembung,"sahut Farid mengusik.

"Apa yang kamu pikirkan, cantik? Jauh sekali pandanganmu, awas lho ntar di bawa kabur  Jaka Sembung,"sahut Farid mengusik

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ainin Shofia

Farid, lelaki periang sahabatku  sejak masih kanak-kanak hingga saat ini sama-sama melanjutkan pendidikan pada universitas yang sama di kota.  Hanya bedanya aku memilih Teknik Sipil sedangkan Farid pada jurusan Akuntansi.

" Siapa bilang aku sedang mikir, jangan sok tahu kamu," sahutku.

" Oh iya ya, mana mungkin kamu sedang berpikir, kamu kan gak ada ot ..." ledek Farid yang kusambut dengan telapak tangan membungkam mulutnya.

"Farid ... kamu jahaaaaat! " teriakku sambil meraup air sungai dalam genggaman lalu melontarkannya ke wajah sahabatku itu.

 kamu jahaaaaat! " teriakku sambil meraup air sungai dalam genggaman lalu melontarkannya ke wajah sahabatku itu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Farid Rahendra

Kami tertawa sembari saling mencipratkan air. Berlarian di antara bebatuan dan bercanda melepaskan kepenatan setelah melewati ujian semster beberapa waktu lalu. Tak menyadari ada sepasang mata yang sedari tadi meyisir setiap momen yang tampak di depan matanya.

Langit senja mulai temaram, saat aku dan Farid beranjak meninggalkan pinggiran sungai. Sambil bersisian mengayuh sepeda perlahan menyusuri jalan perkampungan. Di kanan kiri jalan terhampar pepohonan yang rindang memberi kesejukan. Kampung Bukit Kemuning merupakan perkampungan yang terletak agak jauh dari perkotaan. Butuh waktu sekitar 10  jam dari pusat kota. Tidak jauh dari pemukiman ini ada lautan  yang membentang luas dengan pantai yang belum terjamah. Hanya saja jarang di tempuh karena harus melewati hutan dengan medan yang cukup berat. Akses yang dilalui untuk menuju pantai yang belum terekspos itu belum ada. Sehingga untuk menuju ke tempat itu butuh kekuatan fisik dan keberanian tentunya. 

Di perjalanan pulang sesekali aku  dan Farid berpapasan dengan beberapa orang yang kembali dari kebun. Kebanyakan masyarakat Kampung Bukit Kemuning ini bermata pencaharian dengan mengolah sawah dan kebun. Kulihat Farid bertegur sapa pada mereka dengan ramah dan penuh keceriaan. Tak jarang ia turun dari sepeda dan membantu bapak- bapak yang kesulitan menaikkan hasil kebun ke keranjang mereka.

Sesampainya di rumah kulihat Ayah, Tuan Yahya dan Ibuku Ny. Zahara tengah duduk di teras samping. Setelah bersembang sejenak dengan keduanya, Farid pun beranjak untuk  berpamitan.

"Pakcik, Makcik ... Farid pulang dulu ya, hari sudah petang,"ucap Farid sambil menyalami kedua orang tua tersebut.

"Ya nak Farid, kirim salam untuk Ibumu ya," sahut ibu. "Oh ya sebentar, tadi ada pisang yang sudah masak ditebang Pakcik, bawakan untuk Ibumu."

Ibu beranjak masuk ke dapur lalu keluar lagi sambil membawa setengah tandan pisang yang sudah masak.

"Terima kasih Makcik, wah sedap dibuat kolak pisang nih." Farid berujar sambil tersenyum dan menelan saliva membayangkan semangkok kolak pisang panas.

"Asyiiik ... besok aku ke rumahmu ya, mau makan kolak,"ucap Ainin sambil tertawa.

"Oke, aku tunggu, jangan tak datang ya...!" ucap Farid seraya menganggukkan kepala kepada Ayah mohon diri.

"Hati-hati di jalan nak,"sahut Ayah.

"Baiklah Pakcik, terima kasih Makcik ... Assalamualaikum,"pamit Farid meninggalkan pekarangan rumah kami.

"Walaikumussalam,"serentak kami menjawab salamnya.

"Ainin, sekembali Ayah dari masjid nanti temui Ayah dan Ibu ya nak, ada yang ingin kami bicarakan,"ucap Ibu kepadaku, putri semata wayangnya ketika aku akan beranjak masuk.

"Baik Bu ... Ainin masuk dulu ya, mau mandi," sahutku mengangguk.

ELUSIFWhere stories live. Discover now