Lelaki Itu Tunanganku

185 23 0
                                    

"Ainin, meskipun kamu tertawa tetapi aku tahu ada yang kamu sembunyikan,"ucap Farid tiba-tiba.

"Eh sok tahu kamu,"elakku sembari mengarahkan tatapan menuju laut lepas.

"Sudahlah Ain, kamu tak akan berhasil menipu aku,"tukas Farid lagi.

Bukannya menjawab pertanyaan sahabatku, pikirku melayang mengembara entah kemana. Gundah di kalbu ini terasa ingin kulepaskan di antara riak gelombang yang memecah pantai. Kulihat Farid lekat memandang wajahku, sepertinya ia sangat tidak sabar menanti penjelasan panjang . Saat acara pertunangan kemarin tak kulihat kehadiran Farid di sana. Akan tetapi aku yakin sedikit banyak ia telah dapatkan informasi tentang hal ini dari ibunya.

"Aku yang seharusnya nanya ke kamu, kenapa kemarin tak datang ke rumahku?" Kualihkan tanyanya dengan melontarkan pertanyaan balik ke Farid.

"Siapa bilang aku enggak datang, hanya saja kupikir kehadiranku tidak begitu penting di sana, maka kuputuskan untuk pulang sebelum acara usai,"tukas Farid membela diri.

Aku merasakan ada nada yang berbeda dari penyampaian Farid barusan. Tetapi aku tak tahu kenapa demikian. Ah tapi sudahlah, tak ingin menambah beban pikiranku, masalahku saja sudah berat. Akan semakin berat kalau harus mendengarkan masalah Farid juga.

"Hei non, kok malah bengong ... jelek ih!"suara Farid membuyarkan lamunanku.

Aku tersenyum saja mendengar gurauannya dan membalas ucapan itu. "Jelek -jelek begini tapi kamu suka kan?"

Lho, kenapa Farid malah melengoskan pandangannya ke arah laut. Biasanya kami akan saling berbalas canda dan saling mengejek. Entah apa yang mengganggu pikirannya.

"Sebentar lagi kamu akan menikah, tentu kita tak lagi dapat menghabiskan hari bersama-sama seperti ini,"ucap Farid lirih.

"Ah sudahlah Farid, kamu tahu sebenarnya aku belum siap dengan rencana pernikahan ini. Aku tidak mencintai lelaki itu,"sahutku pelan.

"Seiring waktu cinta itu akan tumbuh, asalkan kamu ikhlas menerimanya,"ucap Farid semakin lirih.

"Entahlah, aku hanya berharap Allah akan mudahkan segala sesuatunya jika memang dia adalah jodoh yang terbaik untukku,"ujarku dengan nada tak pasti.

Perlahan mentari bergerak turun ke ufuk barat, rona merah di langit perlahan mulai tampak. Aku dan Farid bersiap beranjak meninggalkan pantai untuk kembali ke perkampungan. Sejak pagi hingga menjelang senja kami menghilang dari kampung. Mungkin ayah, ibu dan para kerabat mulai sibuk mencari. Bergegas langkah memasuki hutan bakau untuk kembali, semoga saja perjalanan pulang terbebas dari binatang-binatang hutan yang menakutkan. Tiba-tiba aku merasa ada sesosok bayangan yang mengikuti langkah kami. Perasaan was-was menghantui benakku. Kusentak pelan lengan Farid dan berbisik.

"Sstt ... jangan menoleh! Aku merasa ada yang membuntuti kita lho."

Farid menghentikan langkah dan malah berbalik. Sontak aku terkejut. Kulihat dia mengitari pandangan ke segala arah dengan sikap siaga. Melihat tidak ada gelagat mencurigakan Farid pun menggamit tanganku dan mempercepat langkah.

Sepuluh menit sebelum azan magrib berkumandang kami tiba di halaman depan rumahku. Terkesiap aku tatkala melihat Zairin, tunanganku itu tegak berdiri di depan pintu rumah. Tatapannya tajam penuh curiga. Seakan hendak mendakwa kami berdua. Di belakangnya tampak ayah dan ibu memandang ke arahku dengan wajah khawatir.

"Ain, Farid ... sudah pulang kalian nak, syukurlah! Ibu risau sekali karena tak menemukan kalian di mana-mana,"tegur Ibu.

"Tak biasanya kalian pergi tanpa memberitahu Ayah atau Ibu, jadi kami cukup khawatir tadi,"ujar Ayah lagi.

"Ainin, tak selayaknya kamu berduaan dan terlalu dekat dengan Farid,"suara berat Zairin mengejutkanku.

"Emangnya kenapa? Aku dan Farid sudah berteman sejak masih kanak-kanak. Kemanapun kami selalu berdua. Ayah dan Ibu pun tak pernah mempermasalahkan ini,"sahutku merasa tak senang dengan teguran lelaki tersebut.

"Tetapi bagaimanapun kalian bukanlah mahrom, tetap tidak dibenarkan bergaul terlalu rapat. Apalagi kamu sudah menjadi tunanganku, ini akan mengundang fitnah,"ujar lelaki itu lagi.

Dengan kesal kuhentakkan kaki seraya berlari masuk ke kamar. Sikap lelaki itu semakin memuakkanku. Kalau saja tidak di depan Ayah dan Ibu ingin kumaki lelaki aneh itu. Sayup kudengar Farid meminta maaf dan mohon pamit. Pasti dia merasa tak enak hati dengan sikap Zairin tadi.

ELUSIFWhere stories live. Discover now