Dia Sebut Namaku

125 11 0
                                    

Aku terjaga dari lelap tidurku semalam. Aroma rerumputan lembab menerpa penciumanku seketika. Sisa hujan tadi malam meninggalkan kesan basah pada pepohonan yang membuat udara sekitar menjadi lebih sejuk. Kelebat bayangan adegan yang terjadi semalam membuat hangat menjalar ke seluruh wajahku. Kutangkupkan kedua telapak tangan ke sebagian muka, rasa malu, sesal dan suka berbaur tak menentu. Tak mampu kutepis pesona yang ditebarkan lelaki itu selama beberapa hari ini. Ups! Kenapa begitu mudah aku terhanyut dalam dekapannya padahal dia adalah lelaki yang menculikku. Yang paling menakutkan lagi adalah dia seorang pembunuh. Namun suara hatiku seolah menafikan kenyataan itu.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling, namun sosok lelaki itu tak tertangkap oleh lensa mataku. Kuayun langkah menuju tepian pantai, dari kejauhan terlihat lelaki itu duduk di sebuah batu besar. Kembali melangkah memperkecil jarak diantara kami. Setelah semakin dekat kuposisikan duduk di bebatuan yang agak kecil tepat di sampingnya. Ia menolehkan kepala dan menatap nanar. Sungguh sulit mengartikan sikap dan perilaku lelaki ini. Terkadang ia kasar, terkadang lembut dan terkadang pula acuh luar biasa.

"Maafkan aku ...! Dan lupakan kejadian semalam,"ucap lelaki itu datar dan kembali mengarahkan pandangannya ke tengah laut.

Dasar lelaki aneh, begitu mudah berucap. Apakah yang terjadi semalam benar-benar tak membekas di hatinya? Batinku mengatakan sebaliknya.

"Yakin kau ingin aku melupakannya?"tanyaku menegaskan.

Ia terdiam. Bagiku itu adalah jawaban.

"Aku tak tahu,"sahutnya.

"Siapa namamu?"tanyaku mengalihkan.

"Adam ... Adam Reynaldy,"jawabnya.

"Aku Ainin ... Ainin Shofia," tukasku.

"Aku tahu namamu, aku tahu sahabatmu dan aku juga tahu lelaki yang akan jadi suamimu,"ujar Adam.

"Bagaimana kau tahu? Bukankah kita tidak pernah bertemu sebelumnya,"ucapku keheranan.

"Kau memang tidak pernah melihatku, tetapi aku tahu gerak-gerikmu,"sahut Adam.

"Jadi kau megintaiku? Sejak kapan? Apa lagi yang kau tahu?"cecarku.

"Sudahlah tak perlu kau tahu,"jawabnya santai.

"Oke, jika kau tak mau memberitahu, tetapi tolong sampaikan padaku untuk apa kau menculikku?"tanyaku kembali.

"Aku hanya ingin ada yang menemaniku di tempat ini,"ucap Adam sekenanya.

"Apa? Hanya agar kau berteman lalu kau culik aku dan membuat keluargaku di sana kalang kabut penuh rasa cemas? Kau ... ! Huh!"hardikku dengan amarah yang tertahan.

"Maafkan aku ...!"pintanya lagi.

Masih tak mampu kuurai isi kepala lelaki ini. Bagaimana mungkin dengan mudahnya ia menyekapku di tempat sunyi seperti ini hanya agar ada yang menemaninya.

"Gila! Lagipula kalau hanya agar kau tidak kesepian kenapa tidak kau saja yang meninggalkan pulau ini lalu kembali ke rumahmu. Tentu kau memiliki keuarga dan teman-teman yang peduli padamu,"sesalku.

"Tak perlu mengajariku, karena kau tidak tau apa yang sebenarnya terjadi,"jelas Adam.

"Tentu saja aku tidak tahu karena kau tidak pernah bercerita apa-apa tentang dirimu,"tukasku.

"Akan kuceritakan padamu ... tetapi nanti! Tidak sekarang,"tegasnya.

Adam pun berlalu meninggalkanku dengan kebingungan yang riuh mengerubungi. Hmm aku akan terus berusaha menyelidiki kisah masa lalunya. Pasti ada hal penting yang disembunyikannya termasuk relevansi dengan isi kliping surat kabar yang aku temukan beberapa hari yang lalu.

Perlahan bangkit dari tempat dudukku dan menepuk-nepuk pasir yang melekat di bagian belakang kulot denimku. Kutepiskan sesaat segala keresahan dan kekhawatiran yang mulai menderaku kembali. Bercengkerama bersama riak gelombang yang saling berkejaran memberikan kenyamanan dan ketenangan. Lupakan sejenak suntuk di benakku.

"Ainin ...!"teriakan Adam menyebut namaku teramat mengejutkan, tak dapat menahan debar jantung yang tetiba berpacu lebih kencang.

"Ya,"sahutku setelah mampu mengendalikan keterkejutanku.

"Aku mau ke hutan, mencari buah atau sayuran hutan yang bisa kita olah untuk menu makan siang nanti, kau mau ikut denganku?"ajak lelaki itu.

"Ya aku ikut,"sahutku sambil mengatur detak jantung agar kembali normal.

ELUSIFWhere stories live. Discover now