Tanya Yang Kuhindari

96 14 0
                                    

Setiba di rumah aku segera bebersih diri. Sembari berpikir bagaimana menyampaikan keinginanku pada ayah dan ibu. Tentunya aku juga berhutang cerita pada mereka tentang peristiwa yang kualami selama sebulan ini. Aku khawatir ayah akan melaporkan kepada pihak yang berwajib. Tentunya nanti akan berkelanjutan dengan meminta keterangan dariku. Bisa-bisa Adam akan ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Sementara aku sedang berusaha untuk membantunya mengungkap kasus pembunuhan Naya, kekasihnya itu. Sebab ini juga terkait dengan kehidupan masa depanku. Karena Zairin adalah calon suamiku. Bisa saja aku menolak perjodohan ini, tetapi tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Di mata kedua orangtuaku Zairin adalah calon imam yang terbaik untukku. Sementara bagiku, yang tahu kisah masa lalunya, lelaki sakit jiwa itu adalah ancaman bagi keselamatanku. Untuk menyampaikan perihal tersebut pada ayah dan ibu tentu butuh dalih dan bukti yang kuat. Karena aku yakin, jika ayah tahu hal yang sebenarnya, takkan tega ayah melepaskan anak gadisnya kepada lelaki itu.

Malam harinya, sepulang ayah dari masjid, kulihat beberapa orang ikut dalam rombongan menuju rumah kami. Barangkali karena mendapat berita tentang kepulanganku.

"Bu, kita kedatangan banyak tamu nih!"teriakku pada ibu yang masih berada di kamar.

"Siapa nak?"tanya ibu sembari keluar dari kamar.

"Tuh, sepertinya warga yang baru pulang dari masjid,"jawabku.

"Ooh barangkali mereka ingin melihat dan mengetahui keadaanmu, Ain. Waktu kamu hilang kemarin semua warga turut membantu Ayah mencari keberadaanmu." Ibu melangkah ke dapur.

"Aku bantu Ibu aja ya,"tukasku sembari mengikuti langkah ibu ke arah dapur.

"Eh, jangan! Kamu duduk aja di sana, mungkin mereka ingin mendengar ceritamu. Ibu Cuma bikin teh manis aja kok,"larang ibu. Justru aku ingin menghindari pertanyaan-pertanyaan sejenis itu makanya aku bermaksud menghindar.

"Assalamualaikum,"sapa ayah yang sudah tiba di depan pintu.

"Waalaikumussalam,"sahutku sembari melangkah ke pintu depan.

Ayah masuk dan mempersilahkan bapak-bapak yang turut serta bersamanya. Aku menyalami mereka satu persatu, lalu mempersilahkan untuk duduk.

"Nah, Ain ... bapak-bapak ini ikut merasa gembira atas kepulanganmu, mereka juga turut sibuk membantu pencaharianmu ketika itu. Maka saat Ayah sampaikan berita tentang kepulanganmu, mereka antusias ingin bertemu dirimu,"ungkap Ayah.

"Terima kasih ya bapak-bapak, Alhamdulillah saya sudah kembali dalam kondisi yang baik tak kurang satu apapun," jelasku.

"Syukurlah nak Ainin. Kami turut senang mendengarnya,"ungkap seorang bapak yang aku lupa namanya.

"Oh ya, jadi siapa yang menculikmu? Lalu kamu di bawa kemana selama ini, Ainin?" Seperti yang aku takutkan, salah seorang dari yang hadir melontarkan juga pertanyaan yang ingin kuhindari.

"Oh ya sebentar bapak-bapak ... saya ke belakang dulu, mau bantu Ibu menyiapkan minuman,"elakku sambil berbalik menuju dapur.

Sesaat kemudian aku dan ibu menghidangkan teh hangat dan sedikit cemilan yang sudah disiapkan ibu.

"Mari pak, silahkan dinikmati seadanya," tawar ibu pada teman-teman ayah.

"Oh ya Yah, Ain masuk dulu ya, mau istirahat,"ucapku sembari mengangguk-anggukan kepala kepada bapak-bapak yang hadir, memberi isyarat untuk meminta diri.

"Kondisinya masih belum fit, jadi butuh istirahat untuk pemulihan,"jelas ayah menegaskan.

Yess, ayah memang penuh pengertian. Paling tidak aku masih punya waktu menyusun cerita untuk disampaikan kepada ayah dan warga kampung.

"Assalamualaikum." Dari dalam kamar kudengar ucapan salam. Sepertinya aku kenal suara itu.

"Waalaikumussalam, mari masuk Zairin." Ayah menjawab salam. Benar dugaanku, itu suara Zairin. Lebih baik aku berpura-pura tidur saja, aku malas bertemu dengan lelaki itu. Aku khawatir tak mampu mengendalikan emosi di saat bertemu dengan dirinya.

ELUSIFWhere stories live. Discover now