Istana Yang Terindah

106 15 0
                                    

Menaiki tangga rumah perlahan dengan dada berdebar, dengan bibir bergetar menahan sebak kuucap salam," Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam," terdengar suara berat ayah menyahut dari dalam rumah.

Terdengar jejak langkah menapaki rumah berlantai papan, sesekali terdengar suara derakan. Lalu pintu di hadapanku pun terbuka. Kulihat wajah lelaki paruh baya itu terperangah menatapku.

"Ainin! Benarkah ini dirimu, nak?" sapa ayah setengah berteriak.

"Iya yah, ini Ainin ... Ainin sudah kembali," jawabku lirih dengan isak yang mulai tak tertahan.

"Syukurlah kau sudah kembali lagi ke rumah, apa kabarmu nak?"tanya ayah sembari mendekapku dengan erat.

"Aku baik-baik saja,Yah! Nanti saja aku cerita panjang lebar. Mana Ibu, Yah?" tanyaku karena tak melihat wajah perempuan terkasih itu.

"Ibu ada di kamar, pergilah temui ibumu. Mudah-mudahan dengan melihat kedatanganmu akan membuatnya sehat dan semangat," ujar ayah.

"Apakah Ibu sakit,Yah?" tanyaku cepat dan segera melesat ke dalam kamar untuk memastikan kondisi ibu.

Di kamar, kulihat wajah pasi itu berbaring lemah tak berdaya di atas pembaringan. Kudekati sisi tempat tidur dan berjongkok di tepi dipan tersebut. Kuusap rambut yang sebahagian terlihat mulai memutih. Tubuh yang terbaring itu menggeliat seketika, dan terjaga.

"Ainin, anakku ... !"teriak ibu.

"Iya Bu, Ain sudah kembali ... Ain rindu Ibu,"sahutku mulai terisak.

Kami pun berpelukan dengan isak tangis bersahutan. Segala keresahan dan kerinduan terluah melalui dekapan yang erat dan hangat.

"Sudah hampir dua pekan ini Ibumu sakit, terlalu sedih memikirkan keberadaanmu. Tak ada sesuap nasi pun yang ditelannya,"ujar ayah dengan nada sedih. Mendengar itu, aku semakin mempererat pelukanku, serasa tak ingin kulepaskan.

"Ainin sudah di sini, bersama Ibu dan Ayah ... Ainin baik-baik saja Bu,"ucapku sembari menciumi wajah terkasih yang basah oleh airmata tersebut.

"Iya nak, Ibu khawatir sekali dengan keadaanmu, satu bulan kamu hilang, tak satupun yang berhasil mendapatkan berita tentangmu. Tetapi Ibu yakin kamu masih hidup, nak!"ucap ibu sesunggukan.

"Alhamdulillah, sekarang kita sudah bersama-sama lagi dan Ibu lihat ... Ain sehat tak kurang satu apapun,"sahutku sambil berdiri dan berputar-putar.

Kami pun tertawa berbarengan. Kulihat ayah yang sedari tadi berdiri di tepi pintu, pun turut tersenyum bahagia.

"Dan sekarang, aku lapar ... aku rindu asam pedas buatan Ibu,"lanjutku dengan wajah memelas.

Mendengar ucapanku, seketika ibu bangkit dari tempat tidur dan berkata," Tunggu sebentar, Ibu akan siapkan makanan kesukaanmu."

"Eh jangan, Ibu masih sakit ... nanti saja!"cegahku.

"Memelukmu adalah obat yang paling mujarab. Lihat Ibu! Sehat dan kuat,"seru perempuan tercinta itu sambil memutar-mutar tubuhnya.

Melihat gaya ibu, tak urung aku dan ayah tertawa terbahak-bahak. Lengkap sudah kebahagiaan kami. Hilang sudah segala resah dan rindu yang mengkungkung batin selama tigapuluh hari terakhir ini. Kami pun beranjak keluar dari kamar, mengikuti langkah ibu menuju dapur. Ayah menggamit bahuku dan mendekap erat. Meskipun lelaki ini tak banyak berucap, namun tatapannya mengandung makna yang sarat oleh kerinduan. Sambil beriringan melangkah, berkali-kali ayah menepuk-nepuk bahuku. Terlihat banyak cerita dan tanya yang ingin diungkapkannya. Begitupun aku. Tetapi kami masih saling diam tanpa kata. Pelukan ini mewakili segala gundah dan gelisah yang menjarah rasa. Biarlah kami nikmati dulu ungkapan kerinduan ini, setelah itu nanti baru aku bercerita tentang semua yang terjadi. Semuanya ...!

Makan siang hari ini adalah saat terindah dalam hidupku. Sambil menikmati asam pedas ikan buatan ibu, yang menurutku terenak di dunia, sesekali kami bersenda gurau. Semburat kedamaian dan kenyamanan terpancar di sini, di rumah ini, istana yang terindah.

ELUSIFWhere stories live. Discover now