Rencana Tuan Yahya

234 28 2
                                    

Tuan Yahya adalah ayahku, merupakan tokoh yang cukup terpandang di kampung ini. Beliau disegani bukan hanya karena memiliki kebun dan sawah yang cukup luas serta mempunyai kedai harian di pekan, tetapi juga disebabkan keluasan ilmu agama yang dimiliki. Setiap malam sehabis Magrib di masjid  beliau memberikan kajian dan pengajaran kepada para jamaah penduduk kampung tersebut.

"Ainin, duduk sini nak! Ada hal penting yang ingin Ayah sampaikan,"panggil Tuan Yahya.

"Ya Yah, Ainin segera datang,"sahutku dari dalam kamar.

Suara panggilan ayahku, meskipun terdengar pelan dan berat namun aku merasa ada sesuatu hal penting dan luar biasa yang akan beliau sampaikan. Tak urung kekhawatiran menyergap sesaat di benakku. Berbagai tanya menari-menari di batang otakku. Sesampai di ruang tengah aku bergabung duduk bersama ayah dan ibu yang telah dulu ada di sana. Ruang berukuran 4 x 6 meter ini kurasakan semakin menyempit disebabkan kecemasan merasuk ke lubuk hatiku.

"Duduklah di sini, Ainin!"Ibu menggapaikan tangan menunjuk ke arah kursi di sebelahnya.

Aku menuruti perkataan ibu  dan mendaratkan tubuhku tepat di samping kanan wanita paling sabar ini. Tersentak seketika di saat kurasakan genggaman tangannya seolah ingin menguatkanku. Ada apa ini ... betul-betul membingungkan. Kutarik napas perlahan dan hembuskan berharap kecemasan ini musnah.

"Ada hal yang ingin Ayah sampaikan,"ucap lelaki yang mulai beranjak tua itu. "Mungkin akan sedikit mengejutkan."

"Ya Yah, Ainin siap mendengarkan,"sahutku pelan. Namun tak kupungkiri keresahan itu terus membersamai. Tak biasanya ayah seserius ini ketika berbincang bersama.

"Begini nak, sudah hampir enam bulan ini kampung kita kedatangan seorang laki-laki soleh, banyak pengetahuannya dan bijaksana. Tentunya dia juga gagah dan sopan santun terhadap orang tua, terutama kepada Ayah dan Ibu,"urai ayah panjang lebar.

" Namanya Zairin, dia juga sering membantu ibu di toko. Ramah dan suka menolong," kudeengar ibu menambahkan.

Aku masih terdiam dan belum mengerti kemana arah pembicaraan ini. Tetapi aku paham siapa lelaki yang dimaksud. Pagi kemarin sekelebat aku melihatnya di toko ibu.

Mengikis rasa penasaran, kutatap wajah ibu dan ayah bergantian. "Lalu ada apa dengan lelaki itu,bu?"

"Bang Zairin, biasakan memanggilnya dengan nama itu Ainin,"Ayah menegurku. "Kemarin Zairin menemui Ayah lalu menyampaikan maksud hatinya ingin meminangmu untuk dijadikan istri."

"Uhuk ... huk," tersedak aku mendengar ucapan ayah. "Ayah ... apa Ainin enggak salah dengar nih, Ainin masih kuliah lho belum kepikiran akan berumah tangga,"sahutku dengan nada penolakan.

"Ainin sayang, kamu tidak akan menikah besok pagi kan, ya jangan panik gitu lah,"ujar ibu mencoba berkelakar.

Bagiku kelakar ibu sama sekali tidak menghibur. Bagaimanapun setelah dipinang, maka akan tertutup kesempatan bagiku untuk berkarir mengembangkan diri. Aku merasa duniaku sudah selesai sampai di titik itu. Apalagi harus menikah dengan lelaki yang tidak kukenal. Bagaimana mungkin akan terbina hubungan suami istri dengan baik jika tak ada rasa cinta di hati. Walaupun di luar sana banyak ungkapan bahwa cinta akan tumbuh setelah pernikahan, tetapi bagiku tidak. Aku memiliki impian ingin membangun keluarga dengan pondasi cinta yang kuat. Dengan seseorang yang aku cintai dan mencintaiku dengan tulus.

"Kamu pikirkan saja dulu, nak! Ayah dan Ibu hanya ingin memberikan yang terbaik untukmu, kami sudah beranjak senja, mungkin tak sempat membersamaimu melewati masa di hadapan,"ucap ayah pelan namun menusuk jantungku.

Beringsut aku meninggalkan keduanya masuk ke kamar, serasa ada palu baja bertemgger di kepala. Ingin kurebahkan pepat yang tiba-tiba mengerenyam di seluruh aliran darah. Aku dihadapkan pada pilihan yang teramat sulit. Di satu sisi ingin mewujudkan impianku namun di sisi lain tak ingin melihat gurat kekecewaan di wajah kedua insan yang paling berarti dalam kehidupanku.

ELUSIFWhere stories live. Discover now