Menyusun Rencana

105 15 0
                                    

"Farid, aku punya rencana. Aku harap kau mau membantuku melakukannya," ucapku pada Farid.

"Hei non, apa-apaan sih! Baru kembali sudah punya rencana, kau bahkan belum bercerita tentang keadaanmu selama tiga puluh hari menghilang," ujar Farid dengan gayanya seperti biasa sambil mengacak-acak rambutku.

"Sudah, nanti saja! Sekarang ikut aku, kita ke tempat biasa," ajakku sambil meraih sepeda dan menaikinya.

"Hei, tunggu dulu!" Farid bergegas mengambil sepeda dan menyusulku yang sudah melaju terlebih dulu.

"Mak Cik, Ain pergi dulu ya," teriakku pada ibu Farid yang hanya menggeleng-geleng melihat ulahku.

Setelah mengayuh beberapa saat, Farid sudah berhasil menyusulku. Kami bersisian mengendarai benda beroda dua ini. Beberapa kali kami tergelak bersama ketika Farid melontarkan cerita-cerita lucu. Sedikitpun ia tak mengungkit kasus penculikanku. Begitulah Farid, lelaki ini sangat memahamiku. Ia tahu aku belum ingin di usik tentang hal itu, maka ia berusaha mengalihkan dengan hal-hal yang lain. Tak kubayangkan jika suatu hari nanti aku menikah dan kehilangan kebersamaan seperti ini. Tiba-tiba aku terkesiap, teringat perihal pertunangan dengan Zairin. Setelah banyak hal yang kuketahui tentang lelaki itu dari Adam, maka aku harus memikirkan cara bagaimana agar pernikahanku dengannya bisa dibatalkan. Sebab tak bisa kubayangkan betapa menakutkan harus hidup bersama dengan psycho. Bergidik ngeri aku membayangkannya.

Tak lama kemudian kami sampai di tepi sungai. Kuhamparkan begitu saja sepeda, tak sabar ingin mencelupkan kaki di air sungai yang jernih. Bebatuan di dasar sungai yang dangkal ini terlihat begitu indah. Barisan anak-anak ikan tampak hilir mudik mengikuti arus sungai yang cukup deras. Aku berlari kecil di antara bebatuan, dan mencipratkan air ke wajah sahabatku itu. Sudah lama sekali aku tak merasakan keceriaan seperti ini. Farid balas mencipratkan air ke arahku. Kami pun tertawa sumringah bersama menikmati aktivitas menyenangkan ini.

Setelah puas bermain air dan berlarian di antara bebatuan, aku pun duduk di salah satu bebatuan besar yang terdapat di pinggiran sungai. Kemudian Farid pun mengikutiku, memposisikan dirinya tepat di sampingku.

"Ayo non, ada apa ini? Dari tadi aku menahan rasa penasaranku, menunggumu berkisah," ujar Farid menatap lekat ke arahku.

"Baiklah, aku akan menceritakan semua yang terjadi pada diriku selama sebulan ini,"sahutku, tentu saja tidak termasuk episod cinta kilat yang terjadi antara aku dan Adam. Biarlah kisah itu tetap menjadi rahasia sampai kapanpun. Aku membatin.

"Oke nona cantik, aku siap mendengarkan ceritamu," sahut Farid sambil mengubah gaya duduknya. Kali ini ia meletakkan tangannya di dagu dan menatap lurus ke wajahku. Seperti seorang murid yang siap menyimak pelajaran yang diberikan guru. Tak urung aku tertawa melihat mimik wajahnya yang dibuat seperti anak kecil polos yang menunggu jatah es krim.

"Tetapi kau harus berjanji dulu, bahwa cerita ini rahasia kita berdua, sampai pada saat kita berhasil membuktikan kecurigaanku," tegasku.

"Kecurigaan apa? Ini sebenarnya tentang apa?" Farid menatapku heran.

"Kau dengarkan saja lah,"tukasku.

Lalu aku pun bercerita, mulai dari saat mendapati diriku terdampar di tepi pantai hingga saat aku di kembalikan ke tempat ini. Farid dengan seksama memdengarkan ceritaku. Sesekali ia melontarkan pertanyaan. Tentunya bagaimana perasaanku terhadap si penculik itu tidak aku ceritakan.

"Nah, jadi begitulah ceritanya." Aku menutup ceritaku.

"Pelik juga masalahnya. Aku berpikir bagaimana jika melaporkan ke polisi tentang kasus ini. Tetapi seperti yang kau ceritakan tadi, dengan tidak adanya bukti dan saksi maka kasus ini akan sulit diungkapkan," telaah Farid usai mendengarkan kisahku.

"Itulah sebabnya kenapa tadi aku katakan ada rencana yang ingin kujalankan," ucapku.

"Apa rencanamu?"tanya Farid.

ELUSIFWhere stories live. Discover now