Ungkapan Hati Farid

99 11 0
                                    

Rencana yang aku canangkan ini sedikit beresiko, namun mau tak mau kami harus mencobanya. Aku ingin membantu Adam terlepas dari jeratan hukum atas kesalahan yang tidak pernah ia lakukan. Sehingga ia tidak harus terus menerus bersembunyi di pulau sepi itu. Bagaimana jika terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya. Sakit misalnya, siapa yang akan menolongnya?

"Ain, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Farid tiba-tiba. Nada suaranya agak merendah seolah ada hal serius yang ingin diketahuinya.

"Eh tanya saja lah," jawabku lugas.

"Apakah kau jatuh cinta pada lelaki yang telah menculikmu?" Deg! Aku terkejut mendengar diksi Farid yang mungkin benar. Kucoba menutupi kegugupanku dengan tawa.

"Ha ha ada-ada saja kau ini, mana mungkin aku jatuh cinta pada orang yang baru kukenal, ditambah lagi lelaki itu yang menculikku, menyekapku dan memisahkan aku dengan keluargaku,"jawabku menguatkan agar Farid tidak terus mencurigaiku.

"Ain ... Ain ... hmm aku kenal kau bukan baru kemarin. Aku sangat paham akan dirimu. Mendengar helaan nafasmu saja, aku sudah tahu isi hatimu." Analogi yang berlebihan menurutku. Tetapi itulah Farid, dugaannya selalu tepat.

"Entahlah Farid! Aku belum berani menyimpulkan perasaanku. Entah ini karena simpati akan masalahnya, atau sebab yang lain. Yang pasti saat ini aku hanya ingin berusaha mengungkapkan kebenaran atas apa yang telah terjadi. Bukankah setiap kejahatan harus mendapatkan hukuman yang setimpal. Itulah kenapa aku menyeretmu ke dalam persoalan ini. Aku tahu kau adalah sahabat terbaikku yang bisa diandalkan," terangku panjang lebar.

"Ya, sahabat terbaik ... hanya sahabat," desah Farid pelan membuatku sedikit curiga.

"Apa maksudmu, Farid? Bukankah kita memang bersahabat sejak kecil, bahkan sudah seperti saudara kandung?"ujarku menegaskan.

"Iya, aku mengerti. Begitu juga bagiku sejak dulu. Hanya saja jika seiring waktu ada perasaan lain yang tumbuh, apakah aku salah?" Ucapan Farid benar-benar mengacaukanku.

Meskipun selama ini tak pernah diungkapkannya, aku bisa menangkap gejala itu. Hanya saja aku selalu berharap itu tidak akan benar-benar terjadi. Sulit bagiku mengubah perasaan kasih sayang sebagai sahabat ini, menjadi perasaan lain antara lelaki dan perempuan.

Melihat aku terdiam, buru-buru Farid meralat ucapannya sembari tertawa," Eh lupakan saja, aku bercanda kok! Jangan ge-er kamu!" Tangan kanannya dengan sigap mengacak-acak rambutku. Kebiasaannya ketika melihatku gelisah, dan seperti biasa perlakuannya itu berhasil menetralisir perasaan dan sikapku seketika.

Kami kembali tergelak dan saling mencipratkan air sungai. Sesekali aku terpeleset karena bebatuan yang licin di dasar sungai yang dangkal ini. Walhasil seluruh pakaianku basah karenanya. Tak menerima keadaan ini, aku mengulurkan tangan seolah meminta Farid untuk membantuku berdiri. Tatkala Farid mengulurkan tangannya untuk menarikku, segera aku tarik keras tangannya dan ia pun terjatuh ke dalam air sungai yang jernih ini. Kami pun kembali tertawa terpingkal-pingkal. Kalau sudah begini, kegelisahan musnah seketika meskipun hanya sejenak.

Seiring matahari bergerak semakin condong ke arah barat, aku dan Farid pun bergegas membersihkan diri. Menuntun sepeda menyusuri jalan di atas rerumputan. Masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri. Di benakku mulai terancang suatu rencana yang akan kulakukan nanti sesampainya di rumah. Ya, aku akan memilih untuk mengambil sebuah keputusan yang mungkin akan tidak menyenangkan bagi banyak pihak. Namun ini adalah langkah awal untuk melanjutkan rencana yang sudah aku susun bersama Farid tadi.

Setelah sampai di jalanan, aku dan Farid menaiki sepeda dan mulai mengayuhnya. Aku tak tahu apa yang ada did alam benak sahabatku itu. Tidak biasanya ia mengendarai sepedanya dengan pelan dan tenang. Biasanya ia akan melaju dan meliuk-liukkan sepeda untuk kemudian berbalik arah untuk mengusikku. Kali ini agak berbeda.

ELUSIFWhere stories live. Discover now