Di Pulau

149 16 0
                                    

Dengan tubuh yang masih lemah aku bangkit berdiri dan berlari menuju ke arah suara deburan ombak. Barangkali ada petunjuk yang bisa aku dapatkan di sana. Sambil berlarian kuteriakkan nama Farid, mungkin sahabatku itu memberi kejutan dengan membawa aku ke pantai.

"Farid ... Farid ... di mana kamu? Ayolah jangan menakutiku lagi,"teriakku sembari berharap memang Farid lah yang melakukan semua ini.

Namun meskipun berulang kali kuteriakkan namanya tetapi tak jua kudengar sahutan ataupun tanda-tanda bahwa dia ada di sini. Kususuri tepian pantai yang memang tampak indah sekali tetapi keindahannya tak mampu mengalihkan ketakutanku. Aku sama sekali tidak memiliki gambaran tempat apa ini. Mentari di ufuk barat seperti enggan menemaniku. Perlahan tapi pasti ia bersembunyi memyelami dasar laut. Kegelapan mulai merayapi malam. Aku kembali berlari tak beraturan. Tak kupedulikan lelah kaki yang bergerak kesana kemari. Kuputuskan memasuki hutan belantara yang terhampar di belakangku. Sembari melangkah sayup kudengar suara kapak yang diayunkan ke batang kayu. Aku ikuti arah suara itu. Ups ... dari balik pepohonan samar terlihat sesosok tubuh lelaki yang sedang memotong-motong kayu dengan parang di tangannya. Dia membelakangiku sehingga tak dapat kulihat wajah lelaki tersebut. Kutepis rasa takut dan bergerak mendekatinya.

"Hei, siapa kau?" tanyaku.

Lelaki itu bergeming tak menghiraukan sapaanku.

"Hei tolong jawab, siapa dirimu? Bagaimana aku bisa ada di tempat ini? Apa kau menculikku?"cecarku lagi dengan sedikit mengeraskan suara.

Lelaki itu menoleh sejenak lalu melanjutkan kegiatannya. Tersentak melihat tatapannya yang tajam dan mengerikan. Tak lama kemudian ia mulai membakar kayu-kayu kering disekitarnya hingga terbentuk api unggun. Nyala api itu cukup menerangi menembus kegelapan malam. Sekilas aku memperhatikan wajah lelaki itu. Tubuhnya tegap dan kekar dengan rambut gondrong sampai ke bahu. Jenggot dan kumis yang tak terawat serasi dengan tatapan matanya yang dingin tak bersahabat.

Aku beranjak dari hadapannya dan duduk di akar pohon yang melintang. Rasa lelah dan kantuk menyerangku. Di pelupuk mataku terbayang wajah Ayah dan Ibu, mereka pasti khawatir sekali dengan ketiadaanku. Terbayang ketika saat pertama kali aku akan pergi merantau untuk melanjutkan kuliah di kota.

"Ain tahu kan kita belum pernah terpisah satu malam pun. Ibu pasti akan sangat merindukanmu,"ujar Ibu kala itu.

"Bu, Ain juga pasti akan rindu pada Ibu,"sahutku sembari memeluk erat perempuan terkadih itu.

"Eh sudahlah Bu, Ain nih mau melanjutkan pendidikannya, kenapa pula ditangisi?"tegur Ayah menyusul kami.

"Duh Ayah belagak kuat nih, trus kenapa berair matanya tuh?"tanyaku menggoda Ayah.

"Ah ini tadi ada debu masuk ke mata Ayah,"kilah lelaki tua kebanggaanku itu.

Kami pun tergelak bersama mendengar Ayah berkilah menutupi kesedihannya.

Membayangkan hal tersebut tak terasa butiran hangat mengalir dari sudut netraku. Aku teramat merindukan mereka.

"Hei, nih makan,"sergah lelaki itu sambil menyodorkan ikan bakar yang ditaruh di atas selembar daun.

Meski aroma ikan bakar itu menggugah penciumanku, namun tak terbersit keinginan untuk menikmatinya.

"Aku tidak lapar, aku tak mau makan,"jawabku ketus.

"Aku bilang makan, makan!"ia kembali menyergahku semakin keras.

"Tidak, aku tak mau. Kau makan saja sendiri,"tolakku tak kalah keras.

"Keras kepala!"hardiknya dan berlalu meninggalkanku.

Tak kupedulikan riuhnya suara-suara dari dalam lambungku yang berteriak ingin menyantap ikan bakar tadi. Kesedihan dan kecemasan yang melanda membuatku mulutku enggan menerima asupan makanan apapun. Dari sudut mata kulihat lelaki itu terbaring di pondok kayu. Sementara itu dengan isak tangis yang terus kuperdengarkan akhirnya mata pun terpejam akibat kelelahan. Di bawah pohon besar di tengah hutan rimba ini kurebahkan tubuhku.

ELUSIFWhere stories live. Discover now