Geletar Aneh

140 12 0
                                    

Tak kepalang rasa terkejutku mendapati kenyataan ini. Bahwa lelaki gagah itu adalah seorang pembunuh. Tak tentu arah aku pun berusaha melarikan diri ke arah hutan. Rasa takut dan cemas melanda seketika membuat hilang akal. Tak peduli semak belukar dan akar pepohonan menghadang terus saja kuberlari tanpa mengenakan alas kaki. Entah sejak kapan benda itu terlepas dari tempatnya. Mungkin sewaktu aku dibekap oleh lelaki itu di pinggir sungai. Ah sudahlah tak penting lagi beralas kaki atau tidak, yang jelas aku harus menghindar sejauh mungkin dari si penculik yang berbahaya itu. Jelas aku tidak mau mati sia-sia di tempat ini. Tentu tidak akan ada orang yang menemukan jasadku. Lalu ayah dan ibu akan menderita sepanjang hidupnya. Membayangkan hal itu semakin kencang aku berlari, meskipun berkali-kali tersandung akar kayu yang melintang. Terjatuh kemudian bangkit lagi dan terus berlari. Tak kuhiraukan luka dan goresan di tubuhku akibat tersabet ranting pohon yang cukup tajam. Lalu ... oh! Tersandung benda keras dan aku terjerembab nyaris mengenai patahan batang kayu yang tercacak, sehingga kurasakan sebuah lengan kekar menopang tubuhku. Lelaki itu berhasil menangkapku tepat di saat tubuhku nyaris tertusuk batang kayu itu. Berkecamuk rasa dalam dadaku. Rasa lega karena telah diselamatkan tetapi di sisi lain kecemasan kembali melanda, artinya aku kembali ke tangan sang pembunuh ini.

"Hei perempuan! Kau tahu, di hutan ini bukan cuma batang kayu yang memgancam nyawamu tetapi ada ratusan binatang buas yang siap memangsamu,"sergah lelaki itu.

Tanpa meminta izin terlebih dahulu, ia mengangkatku seperti karung beras lalu di panggul di atas bahunya.

"Lepaskan aku ... hei lepaskan! Aku bisa jalan sendiri!"teriakku sembari memukul-mukul punggungnya.

"Kalau kau diam dan tenang saja maka akan memudahkanku membawamu kembali ke pondok,"sahut lelaki itu sambil tetap tak melepaskan diriku dari panggulannya.

"Kau tak perlu memanggulku! Turunkan aku cepat,"tukasku terus berusaha melepaskan diri.

"Jangan bandel, lihat kaki dan tanganmu berdarah bahkan dahimu pun terluka. Dasar perempuan keras kepala!"ucap lelaki itu dengan santainya membawaku keluar dari belantara.

Refleks kuraba dahiku yang mengucurkan darah segar. Akhirnya aku pun harus pasrah dalam gendongan lelaki ini.

Sesampainya di pondok, segera ia membersihkan luka di kaki dan tanganku. Kemudian ia juga membersihkan luka di dahiku. Tanpa sengaja netraku tepat menatap bola matanya yang juga mengarah kepadaku. Seketika ada desiran halus melintas di pembuluh arteri yang terasa lebih cepat mengalir. Oh Tuhan! Apa ini? Kutepis cepat perasaan asing yang lancang berkelebat. Berada sedekat ini dan menerima perlakuannya yang telaten membersihkan serta mengobati lukaku membuat sulit mengendalikan geletar aneh di dadaku.

"Sudah selesai?"tanyaku cepat.

"Oh iya sudah ... mudah-mudahan darahnya segera berhenti. Daun binahong yang kutempelkan di lukamu akan menghentikan darah dan mempercepat proses penyembuhan luka,"jawab lelaki itu sedikit lembut dari biasanya.

"Oh terima kasih,"sahutku mengalihkan pandangan mengelak dari tatapannya.

Hmm mengapa tiba-tiba ia berubah menjadi lembut seperti ini, apakah karena merasa bersalah telah membuatku ketakutan hingga terluka atau agar aku tak mengungkit tentang temuan kliping berita surat kabar tadi. Atau jangan-jangan dia pun mengalami perasaan yang sama seperti diriku. Ah pikiran gila ini lagi-lagi berusaha kutepis jauh dari otakku.

Aku berjalan menjauhinya lalu duduk di bawah pohon besar tempat biasanya aku beristirahat. Selama satu pekan ini di sinilah aku tidur sepanjang malam dan melepaskan penatku. Sementara lelaki itu tidur di atas pondok kayu dengan atap daun rumbia. Kulihat ia pun menuju pondok tersebut dan merebahkan diri di sana.

ELUSIFWhere stories live. Discover now