Geliat Senja

124 14 0
                                    

Aku ingin menikmati senja ini, menyaksikan  surya bersembunyi malu-malu di peraduannya. Terlena dqlam pangkuan riak gelombang yang berayun selaras seirama. Warna jingga kemerahan di ufuk barat mengingatkanku pada rona wajah tersipu malu. Ketika Adam melangutkan keresahannya. Kurasakan gejolak cinta yang membara terpendam di dasar samudera. Seolah menguak ke permukaan dengan desakan arus yang tak tertahankan. Aku pun tak mampu melawan kegundahan itu. Kupasrahkan getaran-getaran itu berlabuh di tempat yang semestinya. Bukankan cinta akan menemukan jalannya. Walau kadang berliku, tajam menukik atau terdongak mendaki. Kurebahkan resah dalam hangat dekapan kasihnya. Aku seperti musafir yang berada di tengah kabut salju yang mengaburkan pandangan, lalu menemukan secercah sinaran yang menerangi kalutku.

Meskipun aku sendiri tak yakin ke mana arah akan dituju. Apakah ada kelanjutan dari rasa yang telah tercipta. Entahlah. Kunikmati saja alur yang terjadi seperti riak ombak yang berkejaran. Pergi dan kembali untuk kemudian pergi lagi.

Senja ini adalah senja terakhir aku berada di sini. Esok pagi Adam akan membiarkan aku kembali pada kehangatan orang-orang yang kurindukan. Belaian lembutnya di rambut panjangku serasa mendamaikan resah yang mendayu. Kecupan hangat bibirnya menjelajahi setiap gurat wajahku. Kutenggelamkan wajah dalam kehangatan dekapannya. Menyatu syahdu diringi bayu yang merayu di ujung temu. Sentuhan rindu yang menderu di relung kalbu, mendesak untuk segera berlabuh. Desah nafas yang kian memburu, seolah berpacu dengan detak jantung yang mulai tak menentu. Lalu kepingan-kepingan kalbu yang membeku itu terurai satu persatu. Seiring pawana berhembus kencang menerpa tubuhku. Tersentak seketika ketika rasa mulai rancu. Cinta yang hangat serta kasih yang membiru berbaur dengan nafsu. Aku dan Adam belum terlambat menyadarinya. Kemudian kami saling melepaskan diri dari geliat asmara yang menggelora. Kuatur kembali debar yang tadi berantakan dipermainkan rindu.

Adam menatapku dengan sesal,"Maafkan aku, Ainin! Aku terhanyut dalam kelembutanmu."

"Begitu juga aku, Adam. Tak mampu menolak pesona yang kau hadirkan,"tukasku.

Selanjutnya keheningan melanda kebersamaan kami. Aku dan Adam kembali ke pondok masing-masing. Berjalan meninggalkan bibir pantai yang sempat menjadi saksi gelora asmara sepasang anak manusia. Tanpa suara dan tanpa aksara mengayun langkah demi langkah. Sibuk dengan benak yang menerka-nerka mencari makna. Apa  arti kebersamaan ini. Aku tahu Adam tak mampu berjanji ataupun menawarkan kasih. Sama seperti aku yang tak mampu berharap banyak. Berkaca pada realita. Ada banyak aral yang melintang, menghalangi rasa ini.

Sesampainya di pondok, kucoba pejamkan mata. Berusaha mencari titik kebahagiaan akan bertemu orang-orang terkasih esok hari. Menghadirkan bayangan ayah dan ibu yang gembira menyambutku. Sementara di pondok sebelah yang berjarak sekitar seratus meter dari tempatku, Adam terlihat gelisah membolak balikkan tubuhnya. Kubiarkan saja kegelisahan itu menyapanya. Sebentar lagi ia akan tenang dan terlelap.

Di kegelapan malam yang senyap, kucoba mengulas membolak balik peristiwa yang terjadi selama tigapuluh hari. Ya, esok hari adalah hari ketigapuluh aku berada dalam sekapan penculik tampan itu. Ia bukan saja berhasil menculik ragaku tetapi juga menculik hatiku. Bagaimana mungkin bisa. Aku jatuh cinta pada si penculik. Yang telah menyekapku, memisahkanku dari keluarga. Memutuskan kenyamanan di dalam rumahku. Berada dalam dingin dan sepinya hutan ini. Teka-teki kehidupan memang sulit ditebak. Kita tak pernah tahu apa warna yang akan menghiasi hidup di masa hadapan. Hanya bisa menjalani alur yang telah terbentuk. Mengikuti pola yang sudah dituliskan. Kadang sesuai dengan impian, namun tak jarang meleset jauh dari harapan.

ELUSIFWhere stories live. Discover now