Malam sudah semakin larut dan mall itu pun mulai terlihat sepi karena beberapa toko terlihat telah ditutup. Zia memutuskan untuk kembali ke rumah dengan Juna yang akan mengantarnya. Padahal ia hendak menaiki taksi online, tetapi sang kakak kelas tidak mengizinkan.
Tak banyak yang dapat mereka lakukan setelah bermain tadi, hanya menonton film kemudian makan malam. Namun, Zia merasa cukup puas untuk meredakan kekesalannya terhadap Agnes siang tadi.
"Kak Arjuna beneran enggak apa-apa kalo nganterin Zia pulang dulu?" tanya Zia setelah mobil itu bergerak cukup jauh dari arah parkiran pusat perbelanjaan itu.
Juna mengembuskan napas kesal. "Juna, Zia!”
Cowok itu memang tidak terlalu suka jika dipanggil dengan nama lengkap. Karena menurutnya, terlalu sulit dan boros jika menyebutkan nama dengan tiga suku kata. Lagi pula usianya dengan gadis yang sedang duduk di sampingnya tidak beda jauh. Jadi, ia merasa tidak apa jika dipanggil tanpa ada embel 'Kak' di depan namanya.
"Eh iya! Kak Juna maksudnya," ralat Zia.
Juna tersenyum kemudian mengangguk. "Enggak apa-apa. Yang penting gue bisa pastiin lo pulang dengan selamat."
Zia tersenyum canggung. Padahal selama berteman dengan lawan jenis, ia tak pernah merasa canggung jika berhadapan dengan mereka. Namun, yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Ia memilih bersandar sembari menatap jalanan yang masih ramai meski jam sudah hampir menunjukan pukul dua belas malam.
Zia tidak pernah pulang selarut ini, apalagi jika pulang bersama orang yang baru dikenal. Di dalam hati, ia berharap jika Danu tidak mengetahui pasal dirinya yang pergi seorang diri ke mall dan pulang bersama Arjuna. Sebab jika sampai tahu, cowok itu akan marah besar.
Tak lama kemudian, mobil Arjuna berhenti tepat di depan rumah Zia. Gadis itu menghela napas lega saat melihat Danu tidak ada di teras rumah melalui jendela mobil. Sepertinya ia berada dalam posisi aman.
"Ini bener rumah lo, 'kan?"
Zia menoleh saat mendengar suara Juna kemudian mengangguk. "Iya, bener, Kak. Makasih banyak, ya."
Zia kemudian keluar dari mobil tersebut dengan perasaan lega. Namun, saat baru saja keluar, angin malam menyambut dan terasa menusuk pori-pori kulitnya. Meskipun sudah memastikan Danu tidak ada di teras rumahnya, bukan berarti ia bisa benar-benar tenang. Ia tahu bahwa cowok itu bisa saja melihat dirinya dari jendela kamar. Maka dari itu, ia memilih mempercepat langkah agar segera tiba di deoan pintu.
Bukannya tidak suka dengan perlakuan Danu, melainkan Zia hanya tidak ingin mendengar amarah yang cowok itu lontarkan. Entah karena apa, ia selalu merasa nyeri pada hatinya ketika setiap kata amarah itu terucap dari bibir Danu.
"Dari mana lo?"
Suara itu berhasil menghentikan langkah cepat Zia. Entah dari mana asalnya, yang pasti gadis itu tak berani menoleh demi terhindar dari wajah marah Danu.
Dari balik pohon, Danu berjalan mendekat. Begitu berdiri di samping Zia, ia bersedekap dada. "Gue tanya, lo dari mana?"
"Eh, kok tumben Danu belum tidur? Emang enggak takut kesia ...."
"Jawab!" potong Danu.
Jika sudah begini, apa pun jawaban yang dilontarkan Zia akan tetap salah. Bersahabat dengan cowok seposesif Danu memang menyenangkan, tetapi ia tidak terlalu suka jika itu terlalu berlebihan.
"Danu apaan, sih? Kok malah marah-marah?" kesal Zia.
Jika biasanya gadis itu hanya menunduk dan diam, kali ini tidak berlaku sebab ia merasa harus melawan sesekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zia (PRE ORDER)
Teen Fiction"Kata orang, tertawa yang membuat kita bahagia, tetapi kenapa justru luka yang hadir setelahnya?" Content creator dengan nama 3DZia team adalah milik empat manusia absurd bernama Danu, Devan, Davin, dan Zia. Karena sangat akrab, mereka memutuskan un...