20 | Dia yang telah datang

985 116 19
                                    

Jika semesta tidak mengizinkan bersama Danu, tidak masalah karena Kanzia masih dikelilingi oleh orang-orang yang peduli. Seperti saat ini, ia bisa menghabiskan waktu bersama keempat sahabatnya setelah mereka memutuskan untuk tidak masuk sekolah.

Awalnya, Davin mengajak jalan-jalan, tetapi dibantah Danu karena memikirkan kesehatan gadis itu. Maka dari itu, mereka hanya berada di rumah Zia dengan makanan yang bertumpuk di depan mereka. Tak banyak yang mereka lakukan, hanya menceritakan kisah masa kecil dan menertawakan betapa konyolnya mereka saat itu.

"Gue inget! Yang waktu itu nembak lo pake coklat, 'kan?" Davin terbahak mengingat kejadian saat Zia ditembak sewaktu SMP. "Mana coklat seribuan lagi, ha-ha!"

Mereka tertawa, termasuk Zia yang menertawakan kejadian itu.

"Kenapa enggak lo terima aja waktu itu? 'Kan, lumayan tiap hari bisa jajan gratis di kantin!" kata Devan yang ikut meledek.

Kalau Devan yang meledek, Zia tidak akan tinggal diam. "Lah, Devan Juga, ngapain nembak pake gombalan gaje? Mana gagal lagi gombalannya!"

"Yang penting usaha. Ya, enggak, Van?" sambung Danu.

Di saat mereka sibuk mengingat momen masa kecil, Ayumi hanya diam dan mendengar cerita mereka tanpa bisa ikut masuk dalam percakapan itu.

"Hem!" Zia berdeham dengan badan yang ditegakkan juga dengan tangan yang mengarah ke mulut seolah-olah sedang memegang microphone. "Kamu tau, enggak, kuping kuping apa yang romantis? Kupinang kau dengan bismillah, ea!" Zia terkekeh dengan suara lebih kuat dari sebelumnya.

"Masih SMP udah mikirin pinang-pinangan, ha-ha!" sambung Davin yang ikut menertawakan.

Kesal dengan sang adik, Devan kembali meledek. "Lah, elo? Baru diputusin sama tahu kering aja nangis berhari-hari!"

Semua ikut tertawa, termasuk Ayumi meski tidak pernah ada dalam masa lalu mereka. Cinta monyet yang dialami Davin waktu itu mampu membuatnya menyesal.

"Kalo Danu, gimana? Emang enggak pernah deketin cewek?" tanya Ayumi setelah tawa itu sedikit mereda.

Cowok itu menggeleng. "Di antara mereka, gue yang paling enggak pernah deketin cewek selain Zia."

"Iya, bener banget, tuh! Tapi, kalo udah sayang ke satu cewek, dia enggak bakal berpaling. Percaya, deh, sama gue," kata Devan yang membuat senyum Zia sirna.

Gadis itu melihat Danu yang sekarang menatap Ayumi. Dalam hati, ia tidak membenarkan perkataan Devan, tetapi ia memilih membuang segala pikiran itu dan kembali seperti semula. Semuanya tidak sempat melihat perubahan wajah itu kecuali Devan.

Di mata Devan, sangat jelas terpancar kekecewaan saat Kanzia menatap Danu. Sekarang ia tahu, jika gadis itu juga memiliki perasaan lebih pada Danu.

Gadis itu berdiri. "Zia ke dapur dulu, ya."

Jika Zia berpikir berhasil menutupi perasaannya, tetapi tidak untuk Devan. Sebab sudah memerhatikan raut wajah Zia yang berubah saat melihat Danu bersama Ayumi. Ia tidak sebodoh sang adik dan cowok yang disukai gadis itu. Setelah Zia hilang di balik sekat, ia menyusul ke dapur.

Zia sedang meneguk isi di gelas hingga habis, lalu menarik napas dalam-dalam demi menguatkan hatinya yang berkali-kali dipatahkan secara tidak langsung. Ia menunduk dengan mata yang terpejam agar dapat menyembunyikan luka yang dirasakan.

"Sakit, 'kan?"

Gadis itu menoleh dan mendapati Devan sudah berdiri beberapa langkah darinya. Kanzia mengembalikan mimik wajahnya yang ceria. "Sakit apa? Zia udah sembuh kali!" bantahnya.

Zia (PRE ORDER)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang