15 | Menjauh

959 135 38
                                    

Kanzia menghela napas lega setelah tiba di parkiran sekolah karen ia baru saja terbebas dari pertanyaan bertubi-tubi yang dilontarkan Devan dan Davin. Mulai dari pertanyaan kenapa berangkat bersama mereka hingga menebak bahwa dirinya dan Danu sedang ada masalah.

Sebenarnya ia bisa menjelaskan apa yang telah terjadi semalam, tetapi karena pertanyaan mereka tidak menunjukan keseriusan, ia memilih bungkam. Bahkan ia harus menahan kekesalan karena si kembar justru menjadikan masalahnya dengan Danu sebagai lelucon.

Setelah menyesali apa pun kesalahan yang dilakukan semalam, Zia memutuskan untuk meminta maaf secara langsung saat tiba di kelas. Karena yang ia tahu sedari dulu, Danu akan segera luluh ketika melihat dirinya meminta maaf.

"Loh, Yum? Kok, lo duduk di sini?"

Suara Davin berhasil menarik kesadaran Zia saat melangkah ke dalam kelas. Ia melihat Ayumi duduk dengan tenang di meja yang biasa ia duduki. Tanpa berpikir panjang, ia menghampiri anggota baru 3DZia itu.

"Ini 'kan, mejanya Zia. Kenapa Yumi duduk di ...."

"Gue yang minta," potong Danu kemudian menatap Davin. "Vin, Zia lo suruh duduk sama Dina aja!"

Tepat saat mendengar kalimat itu, Zia bungkam. Ia merasa jika kerongkongannya seperti tercekat sehingga untuk mengeluarkan sapatah kata pun tak bisa. Separah itukah luka yang ia ciptakan pada Danu?

Karena merasa tidak enak, akhirnya Ayumi berdiri. "Kayaknya gue enggak usah duduk di sini, deh. Lagian ini memang bangku Zia."

Danu menarik tangan Ayumi agar kembali duduk. "Kalo gue bilang enggak apa-apa, ya, berarti enggak apa-apa!"

Melihat hubungan kedua sahabatnya sedang tidak baik-baik saja, Devan memilih mengalah. Ia merasa kasihan pada Zia apalagi saat menyadari perubahan sikap Danu. "Lo duduk sama Davin aja, Zi, biar gue yang duduk sama Dina."

Baru beberapa langkah melewati Zia, langkah Devan terhenti saat merasakan tangan gadis itu menahannya. "Enggak apa-apa kok, Van. Devan duduk di tempat Devan aja," kata Zia lalu berusaha menampilkan senyum terbaik yang dapat dilakukan.

Mata Zia nyaris tak memerlihatkan sorot terluka. Ia kembali menjadi dirinya seperti biasa. Menjadi gadis yang selalu berhasil menyembunyikan luka. Ia berpikir jika luka tak harus selalu ditampilkan. Karena tidak semua orang benar-benar peduli atas masalah yang dihadapi.

Devan masih belum bergerak, ia justru menatap Zia dengan tidak yakin karena gadis itu tetap tersenyum meski hatinya terluka.

"Enggak apa-apa, Van," kata Zia lagi karena berusaha meyakinkan Devan bahwa ia sedang baik-baik saja.

Namun, sebaik apa pun Zia bersikap seolah tidak apa-apa, Devan tidak akan pernah percaya.

*****

"Van, oper ke gue!"

Suara berisik itu berasal dari lapangan karena Devan, Davin, dan teman-temannya yang lain sedang bermain bola tanpa Danu.

Beberapa murid di sekolah ikut menonton pertandingan bola abal-abal yang diciptakan dua cowok kembar itu. Selain disenangi para siswi karena mereka salah satu konten krator, mereka juga disenangi karena keahlian mereka dalam bermain bola.

Jika biasanya istirahat kedua Zia isi dengan makan es krim di kelas atau makan untuk yang ke sekian kalinya di kantin, kali ini gadis itu lebih memilih duduk di pinggir lapangan sembari menunggu si kembar. Namun, sebelum berada di sana, ia sibuk mencari Danu, tetapi ia berhenti mencari tatkala matanya menangkap dua orang yang duduk di seberang lapangan. Ia lagi-lagi tersenyum miris karena posisinya memang sudah digantikan oleh Ayumi.

Zia (PRE ORDER)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang