Ekstra Chapter dan Testimoni

1.2K 77 20
                                    

Setelah kecelakaan beberapa bulan yang lalu, Kanzia tidak diizinkan untuk tinggal dirumah itu sendirian lagi. Rani takut jika hal yang tidak diinginkannya kembali dan mengganggu keponakan kesayangannya lagi. Jadi, disinilah Kanzia berada, di sebuah kamar dengan berisi benda-benda kesayangannya seperti gitar, kamera dan sebagainya seperti yang ia minta kepada sang tante.

Apapun yang Zia inginkan, ia akan turuti asal gadis itu tidak meminta untuk tinggal sendirian lagi.

Dengan tubuh yang masih duduk di atas kursi roda, gadis itu menatap nanar jendela yang menampilkan halaman sebelah rumah. Karena bosan, ia mengaitkan earphone pada kedua telinganya kemudian mulai memutar lagu dari ponsel. Suaranya mengalun dengan mata terpejam demi menghayati lagu tersebut.

Namun, di detik-detik berikutnya, earphone itu dilepas oleh seseorang.

"Makasih."

Suara itu membuat nyanyian Zia terhenti. Ia menoleh mendapati Danu yang sudah berjongkok di sebelah kursi rodanya. Cowok itu tersenyum dengan tangan yang berada di belakang punggung. Entah apa yang ia pegang, yang Zia tebak, itu adalah sesuatu yang berharga untuk dirinya.

"Makasih buat?" Zia menaikkan sebelah alisnya.

Danu bergerak ke depan gadis itu "Udah nepatin janji di malam itu. Makasih udah nurutin kemauan gue. Gue nggak tau gimana jadinya gue kalo lo beneran pergi."

Mendengar itu, Zia tersenyum kemudian tertawa kuat. Bukannya terharu atas ucapan sang sahabat ia justru merasa geli. "Danu lebay!" serunya di sela-sela tawaan. "Harusnya Danu bersyukur, bukannya bilang makasih ke Zia."

"Iya-iya maaf," katanya kemudian menlanjutkan setelah diam beberapa detik, "gue mau ngasi sesuatu ke elo."

Dari tatapan Danu, kali ini Zia tau, ada hal serius yang ingin cowok itu utarakan. Tangan yang tadi berada di belakang kini terjulur ke depan Zia.

Namun, satu hal yang membuat gadis itu bingung. Bukan benda istimewalah yang sejak tadi Danu sembunyikan. Benda itu adalah ponsel miliknya yang sama sekali tidak ada pengaruhnya untuk Zia.

Alis gadis itu terangkat. "Danu mau ngasi hape ke Zia?"

"Bukan," balasnya singkat kemudian jarinya bergerak di atas layar. Sesuatu terdengar di sana. "Lo inget Rafly anak bahasa? Dia ngasi gue instrumen ini."

"Terus?"

"Setelah gue pikir-pikiir, instrumen ini cocok untuk lirik lagu lo waktu itu. Suara lo juga bagus, jadi kalo lo mau gue bisa bawa lo ke studionya dia buat rekaman."

Zia diam sebentar, ia rasa rekaman sudah terlalu jauh. Ia hanya suka menciptakan lirik-lirik di dalam lembaran kosong bukunya. Tetapi ia idak pernah berpikir bahwa lirik tersebut akan benar-benar ia nyanyikan.

"Nggak ada salahnya kalo lo emang mau jadi penyanyi," kata Danu berusaha menyakinkan.

"Mau ...," ucap Zia manja. Benar kata Danu, tidak ada salahnya jika ia memilih menjadi seorang penyanyi.

"Tapi lo harus sembuh total dulu. Ntar gue, Devan dan Davin bakal bantuin lo."

Senyum Zia merekah, kemudian dengan spontan memeluk tubuh Danu yang ada di depannya. "Aaaa! Makasih," katanya di dalam pelukan.

Danu terkesiap atas perlakuan gadis itu. Tangannya bergerak mengelus kepala yang tertutupi kupluk. Matanya terpejam, dengan pelan ia berucap, "gue sayang sama lo, Zi."

Jika Danu berfikir gadis itu tidak akan mendengar, ia salah besar. Karna Zia kini melepas pelukan itu dengan cepat.

"Gue serius. Gue sayang sama lo." Danu menghela nafas, "tapi ... gue nggak bisa nentang prinsip lo yang nggak bakalan jatuh cinta sama sahabat lo sendiri."

Zia (PRE ORDER)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang