16 | Yang paling sakit diingat

1K 144 58
                                    


Hari minggu di kala sore memang waktu paling tepat untuk menyaksikan matahari tenggelam dari rooftop sebuah bangunan tinggi. Di sana, matahari tampak bersinar cantik, seolah-olah memang sengaja meninggalkan kenangan manis sebelum pergi meninggalkan langit.

Kanzia duduk dengan memegang gitar kesayangan Ibunya dulu. Benda itu tidak dimainkan, hanya dipegang sambil tersenyum ke arah mentari. Dalam hati, ia menyampaikan pesan kepada mentari agar disampaikan pada Ibunya.

Ia sering menikmati sinar jingga yang dipancarkan mentari bersama mendiang sang ibu di sebuah bangunan kafe milik tantenya. Ia memejamkan mata, sebelum sebuah suara membuyarkan lamunannya.

"Zia, ke sini sebentar! Tante sama Om mau ngomong sama kamu."

Sebelum bergerak, Zia menatap matahari yang sudah hampir tenggelam sebentar lalu bersuara dalam hati.

"Bilang sama Ibu kalo Zia kangen."

Setelah turun dari rooftop dan menemui adik dari Ibu kandungnya itu, ia diajak duduk di salah satu meja kafe. Hanya ada Zia, Rani—sang tante—bersama Abas, suaminya. Mungkin hal yang ingin disampaikan pada Zia tidak baik sebab terlihat jelas di wajah mereka.

"Begini ....” Abas menghela napas panjang. "Om dapat kabar kalau Ayah kamu udah keluar dari penjara."

Karena tidak tahu harus berkata apa, Zia memilih diam. Ia merasa campur aduk, antara senang dan takut akan bebasnya pria yang dulu sering mengajaknya bermain.

"Tante mau kamu tinggal di sini aja." Rani menampilkan wajah yang terlihat khawatir. "Tante takut kamu kenapa-kenapa."

Zia menggeleng pelan. "Enggak usah, Tan. Zia enggak apa-apa kok tinggal di rumah itu sendirian."

Bukannya Zia sok berani atau tidak sayang pada diri sendiri, pasalnya hanya rumah itu yang bisa membuatnya terasa dekat dengan sang ibu. Apalagi semua kenangan tercipta di sana. Mulai sebelum lahir hingga sekarang, jadi tak mungkin jika ia harus meninggalkan tempat yang telah menjadi saksi hidupnya selama ini.

"Zi, kamu aman kalau tinggal sama Om dan Tante. Kamu juga enggak akan ketakukan di dalam gelap lagi, kamu juga bisa main sama Sabrina kalau kamu bosan," jelas Abas agar gadis itu menyetujui.

Namun, lagi-lagi mereka gagal membujuk Zia. Gadis itu tetap menolak meski sudah dibujuk beberapa kali. Selain tak ingin meninggalkan kenangan yang diciptakan rumah peninggalan sang orang tua, ia juga tak ingin merepotkan orang lain. Lagi pula, ia sudah terbiasa sendiri hingga menjadikannya sebagai gadis yang mandiri meski terkadang harus menghadapi kegelapan yang entah kapan berakhir.

"Enggak apa-apa kok, Om." Zia tersenyum sebentar. "Zia bakalan baik-baik aja. Zia bisa jaga diri, jadi Tante sama Om enggak perlu khawatir."

Rani memandang Abas karena bingung harus mengatakan apalagi kepada keponakannya. "Zi, tapi kamu tau, 'kan, kasus apa yang dilakukan Ayah kamu sampai harus berakhir di penjara?"

Kanzia mengangguk cepat. "Tau."

"Kamu enggak takut kalau itu bakal terjadi ke kamu?" tanya Abas meyakinkan.

"Zia adalah anak Ayah, Om. Rasanya Ayah enggak bakal mungkin lakuin itu ke Zia." Zia kembali tersenyum sebentar, meski ia benar-benar takut jika hal itu akan terjadi kepadanya. "Enggak apa-apa, kok. Zia bakal baik-baik aja di sana."

Zia tersenyum miris. Dalam hati ia berulang kali merapalkan doa agar Tuhan mengabulkan setiap kata yang ia ucapkan tadi.

****

Matahari baru saja meninggalkan ufuk timur karena bulan sebentar lagi akan datang dan menggantikan posisinya untuk menerangi bumi. Setelah Zia kembali dari rumah Rani, ia memilih pergi ke tempat mana pun yang dapat membuatnya tertawa lepas. Namun, kali ini ia tidak sendiri sebab ada Devan yang senantiasa menemani.

Zia (PRE ORDER)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang