🦋DEANITA-2

447 45 3
                                    

🦋

Pagi itu kelas XI IPA 3 hening sejenak, alasannya hanya satu mereka takut diterkam si bendahara galak. Siapa lagi kalau bukan Deanita Sri Rahayu. Gadis berambut sebahu dengan wajah garangnya siap menggebrak setiap meja jika mereka bersikukuh membantahnya.

Dea kembali duduk ke kursinya lagi. Setelah mengecek daftar murid dikelasnya yang membayar kas. Untunglah semua anak membayar kas minggu ini, terkecuali satu orang yang sangat menentangnya. Dean Putra Negara. Laki-laki yang menurut Dea menyebalkan, bahkan di kelas ini hanya Deanlah yang selalu menunggak uang kas. Padahal sudah hampir lima minggu Dean tidak membayar. Tapi, apa daya ternyata perkataan pedas dari mulut cabe Dean mulai beraksi tadi pagi saat ia menagih uang kas.

Dea menggelengkan kepalanya. Setelah mencatat uang kas yang masuk dan keluar. Tangannya memasukkan buku kas tersebut ke dalam tasnya.

Bertepatan dengan Dea menghadap ke depan setelah menyimpan buku kas ke dalam tas, Bu Rahma selaku wali kelas memasuki kelasnya diikuti seorang siswi berjilbab putih.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab anak-anak serempak.

"Kita kedatangan murid baru dari Bandung, silahkan perkenalkan dirimu."

"Assalamualaikum, perkenalkan nama saya Siti Anisah, saya pindahan dari Bandung."

"Dea."

"Ya, Bu?"

"Tolong bantu Nisa ke tempat duduk kamu."

"Memang kenapa?" tanya Dea sedikit tak suka dengan siswi bernama Nisa tersebut.

"Mohon maaf, teman kalian ini tidak bisa melihat." Bu Rahma mengusap bahu Nisa, seraya berbisik ke telinga Nisa. "Maafkan ibu."

Nisa tersenyum kaku. "Tidak perlu, Bu. Saya sudah biasa sendiri, tempat duduknya di sebelah mana Bu?"

"Barisan kedua jajaran ke tiga dari selatan."

Seketika suasana kelas jadi hening, beberapa siswa dan siswi di kelas merasa iba dengan keadaan Nisa.

"Ingat jangan ribut di kelas, jangan lupa ajak Nisa keliling sekolah, yah. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Lo ngapain di duduk di sebelah gue?" sentak Dea tak suka.

"Oh, maaf apa saya salah tempat duduk." Nisa yang semula sudah duduk, langsung beranjak dari tempat duduk itu.

"Berhenti, lo gak salah duduk. Dia yang salah," ucap Dean berjalan menghampiri Nisa yang masih berdiri diam di samping meja.

"Segitu rendah yah Nisa di mata lo? Gue rasa lo bahkan lebih rendahan dari apapun bahkan dari seorang perempuan yang menjual dirinya," cela Dean sadis.

Amarah Dea membuncah, tak tahan dengan mulut pedas Dean. Ucapan laki-laki sangat keterlaluan. Alhasil bom amarahnya meledak, ia tak peduli lagi dengan siapa ia berhadapan.

"Huh, mulut lo gak pernah di sekolahin yah? Oh iya, maklumlah orang tua lo gak mampu. Sampai itu mulut mirip cabe, bukan mirip sih tapi emang bener cabe. Pedes banget, yah. Dean Putra Negara." Dea melipatkan kedua tangannya, matanya menatap Dean dengan kobaran permusuhan.

"Gak ngera—" ucapan Dean terpotong begitu Pak Aris memasuki kelas.

Tatapan sengit dan permusuhan itu masih menyala. Dean tak akan pernah membiarkan Dea berlaku seenak jidatnya terhadap orang-orang tak mampu, termasuk Nisa.

Sedangkan Nisa memilih kembali duduk di sebelah Dea, yang otomatis keduanya duduk sebangku. Meski begitu, Nisa duduk dengan rasa canggung dan tak enak. Bahkan tak tenang, ia merasa bersalah karena membuat teman sekelasnya beradu mulut.

🦋


Jam istirahat berbunyi, sebagian anak-anak kelas XI IPA 3 berbondong-bondong ke kantin. Sempat ada teman sekelasnya yang mengajak Nisa ke kantin. Namun, Nisa menolak dengan halus. Ia rasa harus segera menyelesaikan permasalahannya ini.

"Dea aku minta maaf." Nisa berdiri sambil membungkuk.

Sedangkan Dea masih sibuk membereskan alat tulisnya, tak peduli dengan ungkapan permintaan maaf yang dilontarkan Nisa.

Masih dengan posisi yang sama, kali ini sudah sepuluh menit Nisa membungkuk. Hal tersebut membuat Dea kesal. Gadis itu beranjak dari kursi, lalu keluar kelas.

Melihat respon Dea yang seperti itu, seketika Nisa langsung terduduk lemas di kursinya. Kenapa di hari pertama sekolahnya ia harus menghadapi keadaan yang tidak nyaman?

"Nisa, gak ke kantin?"

"Aku bawa bekal," jawab Nisa sopan.

Nisa terdiam lama, mencerna suara bass khas laki-laki. Ia merasa baru saja mendengarnya. Ah, Dean.

"Apa kamu, Dean?"

"Yah."

"Maafin aku." Nisa langsung menundukan kepalanya.

"Angkat kepala lo, gue gak gila hormat kayak si Dea."

Nisa mengangkat kepalanya. Kemudian tersenyum. "Terimakasih."

"Jangan dimasukin ke hati omongan Dea, kalau perlu lo lawan aja."

Nisa mengangguk.

Mendengar suara langkah kaki menjauh, Nisa tahu Dean baru saja keluar kelas. Tapi, setidaknya hari pertama sekolahnya tidak seburuk itu. Masih ada orang yang peduli padanya.

🦋

Cerita ini cukup ringan sebenernya, dan semoga suka. Insya Allah aku usahain cerita ini up tiap hari🤗

Jangan lupa tinggalkan jejak❤️

Kuningan,  29 Januari 2024
Ana HR

DEANITA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang