🦋DEANITA-4

388 34 5
                                        


🦋


Senin pagi, setelah upacara selesai ada waktu kurang lebih 15 menit untuk istirahat. Tapi, sayangnya waktu tersebut dipergunakan Dea, sang bendahara yang dicap garang di kelasnya untuk menagih uang kas. Hal itu pun tak luput dari keluhan beberapa anak kelas XI IPA 3.

"De, lo jangan galak banget kalau nagih tuh. Si Evi aja b aja kalau nagih buat bayar LKS." Salah satu cowok berkaca mata yang duduk di barisan kedua terakhir angkat bicara, ketika Dea menghampiri mejanya.

"Gak usah samain gue sama Evi. Lo kalau mau selamat dari murka gue, makanya bayar kas yang teratur. Gak usah sok berani nunggak. Toh, uang kas juga dipake buat kelas kita juga," jawab Dea sarkas.

Dea mengulurkan telapak tangannya. Dan disambut dengan selembar uang dua ribuan yang sudah tak berbentuk. Tapi, Dea tak peduli dengan itu. Ia mencatatnya, setelah itu melangkah ke meja-meja lain yang belum membayar kas.

Sampai di meja Dean. Suasana di kelas mendadak hening, semuanya sibuk mencuri pandang ke arah bangku belakang. Melihat bagaimana reaksi kedua kucing dan tikus itu. Apa akan terjadi perdebatan lagi?

Kali ini tanpa sepatah kata pun yang terucap dari bibir Dea. Dean sudah menyodorkan uang sepuluh ribuan di atas meja.

"Lo gak ada uang pas?" tanya Dea menatap Dean yang sibuk dengan coretan di buku tulisnya.

"Gak ada, sekalian buat minggu-minggu berikutnya." Tujuh kata diucapkan Dean dengan nada dingin tanpa menatap ke arah Dea.

Dea mengangguk samar. Setelah itu kembali menuju tempat duduknya.


🦋

Pukul 15.45 Dea baru saja keluar dari masjid, selesai melaksanakan shalat ashar. Begitu kakinya melangkah ke pelataran masjid. Hujan deras tiba-tiba mengguyur. Terpaksa Dea kembali berteduh di masjid.

Penglihatannya menangkap sepasang kekasih yang sedang bertengkar di taman samping masjid. Jelas dari raut wajah si perempuan yang tak mau lagi mendengar penjelasan si laki-laki. Namun, si laki-laki tetap bersikeras membujuk. Kejadian itu mengingatkannya lagi pada masa lalu yang amat menyakitkan.

Tentang rasa yang semula tumbuh mekar seindah bunga mawar merah. Namun, harapannya hanya sekedar semu ia lupa mawar juga punya duri yang siap kapan saja melukai jemarinya. Tentang laki-laki brengsek itu. Dea benci dengan semua masa lalunya itu. Dan karena itulah rasa Dea perlahan mati dan membeku.

Di hatinya tak sedikit pun ada rasa ingin memiliki laki-laki, atau dijadikan pacar. Tidak lagi! Dihatinya semua laki-laki tetap akan selalu menyakiti hati perempuan.

Tetes bening nan hangat itu mengalir di pipinya. Tersadar dengan itu, Dea buru-buru mengusap pipinya. Tepat saat Dea akan menerobos hujan karena sudah mulai reda. Sebuah netra hitam terang mengamatinya dan sempat bertubrukan dengan bola matanya yang masih berkaca-kaca.

Tanpa banyak kata Dea menerobos hujan, setelahnya bergegas memasuki bus yang kebetulan nangkring di depan taman samping masjid. Kebetulan memang hari ini Dea tak membawa mobilnya. Untunglah keadaan bus tak begitu sesak. Jadi, setidaknya ia bisa menetralkan rasa sesaknya ini. Dea berharap laki-laki tadi melupakan apa yang dilihatnya.


🦋

"Dea!"

Wajah Dea dibuat sedatar mungkin begitu langkah kaki Dean semakin mendekat. Dalam hati apa yang hendak Dean sampaikan atau tanyakan?

Sebuah amplop putih disodorkan Dean ke arah Dea. Masih dengan rasa bingung Dea meraihnya. Lantas menatap Dean penuh tanya. "Apa?"

Dean tak menjawab. Laki-laki itu justru berbalik dan berlalu pergi. Menyisakan Dea dengan kebingungan. Sedikit curiga juga Dean tak sesarkas biasanya.

Dea memutuskan duduk di kursi depan kelas XI IPA 1.  Niatnya hanya ingin tahu apa yang ada didalam amplop putih itu.

Ketika membukanya hanya ada selembar kertas. Dea lantas membuka lipatan kertas tersebut.

Berhentilah buat kekacauan.

Tiga kata yang sungguh membuat Dea naik darah. Tak perlu lagi menebak Dea sudah tahu siapa yang membuat tulisan ini.

Sejujurnya Dea tak membuat kekacauan apapun. Ia tak merasa melakukannya. Dea juga tak pernah membully. Ia hanya sedikit keras saja pada orang-orang yang memancing emosinya. Memang sudah jadi sifat Dea dari dalam kalau ia memang memiliki watak keras.

"May, lo mau kemana?" Dea turun dari tempat duduknya lantas menghampiri Maya—salah satu teman satu ekskulnya.

"Ke ruang jurnalistik."

"Ouh, mau ngapain?"

"Nyerahin cerpen ini."

"Gue ikut."

Demi apapun sekarang Dea menyesali telah ikut menemani Maya ke ruang jurnalistik. Rasanya ia ingin keluar dari situasi canggung di dalam ruang jurnalistik. Dea lupa kalau Dean salah satu anggota jurnalistik.

"Jadi, gimana? Bisa gak?"tanya Maya menatap Dean penuh harap.

"Bisa, coba mana cerpennya?"

Maya menyodorkannya. Lalu, memperhatikan Dean yang sibuk membaca cerpen tersebut. "Oke, gue akan posting ini."

Maya mengangguk gembira.

"Ayo, De," ajak Maya begitu urusannya dengan Dean selesai.

"Gue mau ngomong penting sama Dea."

Seakan paham, Maya akhirnya mengangguk. "Gue duluan."

Dea menatap Dean tajam. Tanpa bicara pun perempuan itu sudah menunjukkan intimidasi dan desakan tersirat lewat tatapan mata.

"Berhenti ngacau bisa, gak? Lo gak budeg atau buta kan?"

Kedua tangan Dea yang berada dikedua sisi tubuhnya terkepal kuat. "Lo yang terlalu ikut campur."

Dean mendengus. "Lo dan drama murahan itu, gue ngerti sih kenapa lo gak bisa sehari aja ngelampiasin emosi ke orang-orang gak bersalah. Nyatanya lo emang gak punya tempat buat 'pulang' kan?"

Dean memasang tampang meremehkan kala menyelesaikan kalimatnya.

Lain halnya dengan Dea yang sudah emosi sekaligus kaget karena Dean mengetahui soal kondisi keluarganya. Perempuan itu cukup mengerti arti dari kata 'pulang' yang laki-laki itu tekankan.

Dean menepuk-nepuk puncak kepala Dea. Tak lupa sebuah senyum ejekan diukir. "Gue turut bersuka cita. Eh maksudnya berduka cita."


🦋

Makasih buat yang udah baca ❤️

Kuningan, 31 Januari 2024
Ana HR

DEANITA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang