🦋DEANITA-17

206 22 0
                                    

🦋


Senin pagi, setelah upacara selesai. Dea dan Indah kembali ke kelas. Sudah banyak juga yang ada di kelas. Saatnya Dea melaksanakan tugasnya sebagai bendahara kelas. Yap, menagih uang kas tiap minggunya.

Masih ada waktu sepuluh menit lagi sebelum guru masuk. Dea membuka tasnya, kemudian mengambil buku khusus kasnya. Kakinya perlahan berjalan ke meja paling depan.

"Waktunya bayar kas," tagih Dea sembari mengulurkan tangannya.

Namun, diluar dugaan entah kenapa Dea merasa temannya itu menatapnya dengan tatapan sinis. Tapi, ia tak begitu menghiraukannya. Mungkin itu hanya perasaannya saja. Lebih baik Dea kembali melanjutkan menagih uang kas.

Tibalah di meja William yang jaraknya yang cukup dekat dengan bangku Dea. "Bayar Wil," tagih Dea.

Reaksinya hanya sekedar melirik Dea sekilas. Kemudian kembali mengobrol asik dengan Leon dan Azis. Dea yang kesal dengan reaksi William spontan menggebrak meja. Hingga membuat suasana kelas hening.

"Bayar!" tegas Dea.

"Ck, sabar kek. Udah gak punya apa-apa aja masih songong." William menaruh uangnya di dekat buku kas Dea dengan kasar.

"Maksud lo apa?" Entahlah Dea sedikit tersinggung dengan ucapan William. Apa William tahu tentang perusahaan papanya yang bangkrut. Dan tentang kontrakannya?

William berdiri menatap Dea dengan senyum miring. "Oh yah, kalian di kelas ini perlu tahu!"

Selanjutnya bisik-bisik di dalam kelas mulai terdengar.

"DIA UDAH JATUH MISKIN!! PERUSAHAAN PAPANYA BANGKRUT!!" teriak William lantang.

Deg.

Jantung Dea seakan berhenti berdetak. Kenapa? Kenapa William tega membongkarnya dengan cara memalukan seperti ini?

"DAN LIH—"

Dari samping Dea, Indah menampar pipi kanan William penuh emosi. Sedangkan Dea hanya diam membatu di tempat.

"Jangan sembarangan!"

"Lo sebagai sahabatnya aja gak dikasih tahu, lo lupa ayah gue dan dia kerjasama dalam bisnis. Otomatis gue tahu dong."

"Cih, dia gak nganggap lo penting 'kan!" lanjut William, setelahnya ia pergi meninggalkan kelas.


🦋

"Eh, tahu gak ternyata si Dea udah miskin. Tapi, masih aja gayanya selangit."

"Iya tuh, katanya perusahaan ayahnya bangkrut."

"Mampuslah, supaya sadar diri tuh cewek."

"Bener gaya sama keadaan gak sesuai."

"Cih, rasanya pengen muntah lihat kelakuannya."

Dea menenggelamkan wajahnya di lipatan tangan. Ia bisa mendengar dengan jelas apa yang dibicarakan orang-orang sekolah tentang dirinya. Tepat di belakangnya. Kenapa ia harus mengalami ini?

"De."

"Lho kok gak dimakan?" Dea masih mendengar jelas Indah khawatir terhadap keadaannya.

Dea mengangkat kepalanya. Lalu beranjak pergi, meninggalkan makanan favoritnya di kantin yang belum disentuh sedikit pun. Rasanya ia mual mendengar ejekan itu.

Diperjalanan tanpa sengaja Dea menubruk. Dea mendongak. Kemudian langsung melewati laki-laki di hadapannya. Ia tahu apa yang akan diucapkan laki-laki itu. Sudah pasti ejekan. Bahkan mungkin lebih menyakitkan.

Dea sudah pergi jauh sebelum Dean mengeluarkan suaranya. Laki-laki itu sendiri bingung dengan sikap Dea yang terbilang lebih pendiam dan dari wajahnya seperti sedang memikirkan suatu hal yang berat.

Dean kembali melangkah menuju kantin.

Sebenarnya kenapa dia?

Dalam hati Dean sedikit kepikiran dengan cewek songong itu. Ia tidak tahu keadaan kelas karena tadi ia dihukum membersihkan toilet cowok sampai istirahat tiba. Ini gara-gara telat sih.

Semoga gak kenapa-kenapa.

Terakhir Dean ketemu dengan Dea saat di Cafe D. Dari situ pun ia sudah tahu Dea sedang ada masalah keluarga. Ditambah dengan keadaannya sekarang, apa mungkin Dea merasa tertekan?


🦋

Begitu memasuki kelas suasana mendadak hening. Sampai Dea duduk di kursi pun kelas masih hening.

"Oke, gue sebagai ketua kelas di sini akan sedikit mengumumkan tentang struktur organisasi kelas. Dikarenakan anak-anak sekelas sudah sepakat akan menggantikan Dea sebagai bendahara."

Dea mendongak menatap Azis yang masih sibuk menjelaskan. Tak ada lagi yang perlu ia dengarkan di kelas ini. Lagi pula, lihatlah baru saja Dea masuk kelas mendadak semuanya berubah dalam sekejap. Apa ini tak terlalu kejam?

"Tunggu!"

"Ya, Indah?"

Sempat Dea melirik Indah yang mengacungkan tangan.

"Apa lo gak ngerasa aneh? Apa pergantian struktur organisasi yang terbilang mendadak ini gak mencurigakan."

"Gue udah tanya alasan mereka kok."

"Menurut lo apa alasan mereka wajar? Bukan soal masalah yang lagi dialami Dea?"

"Iya."

"Oke, jadi fiks yah. Bendahara satu digantikan oleh Devi."

Suara tepuk tangan mengema di dalam ruangan yang bagi Dea terasa sesak. Hatinya, merasa terus-terusan di sayat hingga mati rasa. Atau bahkan sudah terbiasa dengan sayatan penuh luka ini.

Hampir seluruh anak di kelas berkerumun di bangku Devi yang berada tepat di belakang Dea. Dan beberapa ucapan menusuk dan sindiran untuk Dea terus saja terlontar dari kerumunan itu. Ia sudah tak tahan lagi.

Suara deritan kursi menghentikan ucapan sekumpulan anak-anak di belakang bangku Dea. Seiring dengan Dea yang pergi dengan hati tak berbentuk.

"Dea!"

Langkahnya terhenti karena cekalannya seseorang. Dea enggan menoleh. Tapi, akhirnya pun ia dipaksakan untuk menoleh.

"Lo jangan lemah gitu dong, De."

"Indah," panggil Dea lirih, ia langsung memeluk Indah.

"Gue bakalan ada disisi lo. Kita 'kan sahabat."

"Iya, maafin gue, Dah."

Dalam pelukan hangat sahabatnya itu. Dea merasakan berbagai macam emosi, entah itu marah, kesal, sakit hati, senang, sedih bercampur jadi satu. Entahlah ia tak bisa menggambarkan perasaannya saat ini.

🦋

DEANITA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang