🦋DEANITA-22

288 25 0
                                        

🦋

"Lho, mama habis dari mana?" Dea sedikit terkejut dengan kedatangan mamanya dengan setelan rapi dan sepertinya tampak sibuk.

"Mama lagi buat usaha baru." Sang mama duduk di kursi depan rumah setelah melepas sepatunya.

Dea ikutan duduk di kursi sebelah yang tersekat oleh meja bundar. "Usaha apa?"

Yah menurut Dea usaha mamanya ini cukup baik karena berusaha untuk mendirikan usaha kembali setelah dihantam realita pahit beberapa bulan lalu.

Tapi, ada satu yang mengganjal disudut hati Dea. Darimana mamanya itu mendapatkan uang untuk modal usaha? Bukannya suudzon, hanya saja yang namanya mendirikan usaha baru tentu butuh modal besar bukan?

Dea menatap sang mama yang tampak sedang menscroll layar ponselnya. "Darimana mama dapat modal?" tanya Dea pelan agar mamanya tak merasa tersinggung.

Mama mendongak. "Dari saudaranya papa kamu."

Kening Dea sempat berkerut. "Siapa?"

"Em, mama juga gak tahu pasti sih."

Hah. Kenapa jadi aneh begini sih? Masa iya papa gak memperkenalkan keluarganya ke mama? Dan Dea selaku anaknya pun belum pernah bertemu dengan salah satu anggota keluarga papa. Terkecuali nenek dan beberapa sepupunya.

"Papa mana?"

"Lagi urus usaha kita."

Setelah berbincang singkat, Dea izin keluar untuk mengerjakan tugas. Yah, soal tempat ia memilih Cafe D. Bukan cuma nyaman, cafe baru itupun suasananya enak untuk mengerjakan tugas.

Seperti biasa Dea memilih duduk di dekat jendela yang mempertontonkan jalanan yang diisi lalu lalang kendaraan.

Dipertengahan sedang mengetik di laptop, tiba-tiba Dea kebelet. Jadilah, ia buru-buru pergi ke toilet sampai tak sengaja bahunya menubruk seorang laki-laki dengan setelan jas. Bukan itu saja, tapi kertas yang dipegang laki-laki itu berhamburan.

"Maaf." Dea mengangsurkan beberapa kertas yang diambilnya.

"Dea?"

Dea yang semula tertunduk, langsung mendongak. "Papa? Papa ngapain di sini?"

"Urus bisnis, ini sama rekan papa."

Dea melirik ke samping kiri papanya. Disana ada seorang laki-laki yang nampak seumuran dengan papanya. Laki-laki di sebelah papa tersenyum.

Dea balik tersenyum.

"Kamu sendiri ngapain di sini?"

"Kerjain tugas, Pa," jawab Dea sedikit cengengesan.

"Ya sudah papa duluan."

Dea mengangguk.

Tapi, ekor mata Dea tak sengaja menangkap sebuah bordiran nama di sebelah kanan dadanya rekan kerja papanya itu.

Putra Negara.

Sempat terpikir untuk menghentikannya. Tapi, Dea merasa itu adalah tindakan tidak sopan terhadap salah satu rekan kerja papanya. Lagi pun Dea tak mau dianggap mengganggu pekerjaan papanya.

🦋

Dea keluar dari salah satu minimarket yang tak jauh dari Cafe D. Dan saat itu pun ia melihat rekan kerja papanya tadi seperti sedang menunggu seseorang di tepi jalan.

"Assalamualaikum, Pak."

"Waalaikumsalam," jawabnya dengan senyuman.

"Lagi tunggu siapa, Pak?"

"Anak saya."

"Em, pak boleh saya tanya?" Dea sedikit gugup, sebab merasa tak enak bila menanyakan sesuatu hal pribadi apalagi terhadap orang yang baru di kenalnya beberapa jam lalu.

"Ouh, iya silakan."

"Apa bapak ada hubungan saudara dengan papa saya?" Dea menunggu reaksi Pak Putra—rekan kerja papanya. Ia tampak diam sekejap sebelum akhirnya menjawab.

"Kamu sepenasaran itu yah?" ucapnya balik bertanya.

"Eh, i-iya. Kalau tidak diberitahu pun tidak apa-apa saya tidak—"

"Bukan begitu, saya akan jawab kok pertanyaanmu."

Suara klakson mobil memutus percakapan Dea dan Pak Putra.

"Pa!" Kaca mobil bergerak turun, dan wajah seorang laki-laki yang Dea kenal menyembul dari balik kaca.

Pandangan Dea dan laki-laki itu bertemu. Namun, sedetik kemudian Dea memalingkan wajah. Apa ini? Kenapa Dea merasa tambah bingung dengan situasi seperti ini.

"Itu anak saya," kata Pak Putra seraya menunjuk sosok Dean yang berada di kursi kemudi.

"Pa!" teriak Dean tampak kesal karena melihat sang papa masih sempat-sempatnya mengobrol dengan Dea.

"Sudahlah Dean, kamu harus bilang yang sebenarnya kalau—"

"Cukup, Pa. Aku bisa selesaikan semuanya sendiri." Sebelum Pak Putra merespon, Dean dengan kecepatan tinggi melajukan mobilnya.

"Dean!"

"Sudahlah, Pak."

"Hah, kamu minta penjelasan saja sama Dean. Saya rasa dia yang lebih berhak kasih tahu kamu apa yang terjadi sebenarnya."

Setelah itu Pak Putra pergi. Semilir angin mengiringi kepergiannya. Dea masih diam mematung menatap ke arah perginya Pak Putra. Kenapa semuanya terasa seperti teka-teki?

Siapa sebenarnya Dean? Dan apa yang dimaksud dengan kejadian yang sebenarnya? Dea pikir ia sudah selangkah menemukan alasan Dean. Tapi, mengapa semuanya bagai labirin. Berliku dan sulit menemukan jalan keluarnya.

🦋

DEANITA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang