🦋DEANITA-13

225 24 0
                                    

🦋

Dalam kegaduhan di kelas XI IPA 3, Dea hanya memperhatikan aktivitas teman-teman sekelasnya. Pikirannya entah kemana. Sebelum sebuah kaus kaki hitam putih mendarat di wajah Dea.

Tangannya meremas kaus kaki yang sempat mendarat di wajahnya. Tatapan sinis ia tujukan pada seluruh teman-temannya yang terlibat pelemparan tersebut. Dea melemparnya asal.

"Jangan marah bundahara," ucap Indah sambil senyum-senyum gaje.

"Mending ikutan main, yok! Sekalian refresh otak sebentar. Mumpung lagi free." Evi yang berdiri di belakang Indah melambaikan tangan.

"Gak ah, gue lihat aja."

"Yaudah, yuk lanjut!"

Dan selama satu jam pelajaran ini, Dea sedikit terhibur dengan perilaku teman sekelasnya. Terkadang ia tertawa karena tak sengaja mulut Evi kemasukan kaus kaki.

"Pleh, aduh lo kalau lempar yang bener dong," protes Evi kesal. Kedua tangannya sibuk membersihkan lidahnya yang menjadi korban kaus kaki itu.

"Bhahahaha." Hampir seluruh anak-anak kelas tertawa terbahak-bahak.

Kali ini yang menjadi kucing-kucingan adalah Dean. Laki-laki itu berdiri di tengah-tengah. Dan seruan-seruan heboh mulai terdengar. Masing-masing anak mulai berpencar untuk melempar kaus kaki hitam putih itu pada teman terdekat kecuali kepada Dean.

Devi, teman belakang meja Dea melempar kaus kaki itu dari bawah. Dan lemparannya tak mulus. Dean yang bingung kemana perginya kaus kaki itu mundur beberapa langkah.

BRUGH.

Dean terpeleset, akibat kaus kaki yang tak sengaja terinjak.

"Lo, gak papa, Yan?" tanya Leon, teman sebangkunya Dean.

"Gue bantu." Leon mengulurkan tangannya.

Namun, karena keisengan salah satu teman sekelasnya. Leon sengaja di dorong dan bukannya jatuh, Leon ternyata masih bisa menahan tubuhnya dengan kedua tangannya.

"Bangke lo!" Leon buru-buru bangun dari posisinya dan disusul Dean yang juga bangun sembari memegangi punggungnya.

Bukannya marah seluruh teman sekelasnya tertawa terbahak-bahak, termasuk sipelaku pendorongan yang tak lain Azis—cowok yang duduk di depan Dean.

Dea hanya geleng-geleng kepala melihat teman sekelasnya. Tapi, kejadian itu mampu membuat Dea melupakan sejenak masalahnya. Dan mampu membuat perempuan itu tersenyum.

🦋

Setelah pulang sekolah dan melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim. Dea mampir ke salah satu cafe yang tak jauh dari sekolahnya. Masih dengan seragam lengkap, Dea memesan minuman yang membuatnya tenang. Yah, coffee mix.

Dari dekat jendela, Dea bisa melihat jelas aktivitas beberapa orang di luar sana. Beberapa menit puas memandangi aktivitas orang dari balik kaca, pesanan Dea akhirnya datang.

"Silahkan menikmati," ucap perempuan dengan balutan seragam khas pegawai cafe D.

Dea tersenyum sekilas sebagai balasan. Ia menyesap pelan coffee mix yang baru pertama kali ia coba. Dan Cafe D ini pun baru buka satu minggu lalu.

Setelah menyesap dua kali. Rasanya pikiran Dea sedikit tenang. Coffee mix ini dari warnanya semacam kopi susu biasa. Tapi, rasanya sedikit unik. Perpaduan antara rasa susu, kopi, dan  sedikit asam.

Dalam gelas seukuran gelas khusus teh, masih tersisa setengahnya. Selebihnya Dea mengedarkan pandangannya ke setiap sisi di cafe D. Sungguh unik, cafe D unik dalam segala segi. Dari cara penataan meja dan kursinya, dari suasana juga dari menunya.

Setiap meja di susun secara berkelompok. Satu kelompok terdiri dari lima meja dan sepuluh kursi. Empat meja di susun membentuk persegi. Dan satu meja berada ditengah-tengah. Baru dari lantai dasar, belum dilantai atas. Dan cafe D begitu luas. Di lantai dasar hanya ada tiga kelompok meja.

Suara dentingan kecil antara gelas dan meja mengalihkan perhatian Dea yang semula menatap keluar dari balik jendela. Tangannya sesekali menyesap coffee-nya.

"Kalau ada masalah jangan dipendem sendirian," kata laki-laki yang duduk bersebrangan dengan Dea santai.

Lain halnya dengan Dea, ia merasa laki-laki di depannya ini berbicara dengan sindiran dan sedikit ketus. "Lo ada masalah apa sih sama gue?"

Hilang sudah rencana Dea yang semula ingin sedikit menenangkan diri. Karena kedatangan Deanlah.

"Selow lah."

"Lo duluan yang nyinyir mulu sama hidup gue," balas Dea pedas.

"Lo ke sini cuma mau nyinyirin gue doang? Mending lo pergi!" Dea berucap lebih pedas dari sebelumnya. Disertai nada pengusiran.

"Negative thinking terus."

"Yah terus ngapain?" tanya Dea geram.

"I think you want solution."

"Gue gak butuh."

"Gue gak maksa juga."

Sekitar lima belas menit keheningan menyelimuti keduanya. Sampai akhirnya Dean lebih dulu buka suara. "Gue cuma berusaha peduli."

Coffee dalam gelas Dea sudah habis tak bersisa. Dari bahasa tubuhnya, ia masih belum menerima pernyataan Dean. Ia hanya enggan bercerita pada orang yang belum ia percayai. Terkadang kebanyakan orang salah dalam memilih teman bercerita, mereka hanya ingin tahu masalahnya bukan membantu mencari solusinya. Begitupun dengan Dea, ia hanya tak mau masalahnya menyebar.

"Gue tebak masalah keluarga, yah."

Dalam hati Dea membenarkan. Tapi mulutnya seolah terkunci. Enggan bersuara menanggapi ucapan Dean.

"Gue sarankan lo lebih tenang dalam menghadapi masalah, gak perlu sampai stress berat."

"Gak usah sok nasehatin. Kalau lo aja pengen ngeliat gue menderita," balas Dea ketus disertai tatapan sinis.

Malas mendengar ocehan Dean. Dea beranjak dari kursi, sebelumnya ia sudah meletakan uang di dekat cangkir coffee-nya.

"Satu lagi, don't forget smile, kalau lo sedih ingat aja lo masih punya segudang kebahagiaan yang lebih banyak dibanding kesedihan itu."

"Gak perlu sok peduli."

Setelah mengatakan kalimat sedemikian sarkas itu, Dea berlalu pergi. Perempuan itu memang berkata sarkas. Tetapi, sejujurnya itu hanya salah satu pertahanan diri agar ia tak dipandang mudah luluh.

Ya, iya tak ingin dilihat sebagai orang yang mudah terbawa rasa apalagi orangnya adalah Dean. Tetapi, sedikit banyaknya ia cukup berterima kasih pada Dean. Setidaknya ia mendapat kalimat penghiburan.

🦋

Gimana part ini?

See you❤️

DEANITA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang