🦋
Dea masih setia menatap kosong ke arah jendela di sampingnya yang memperlihatkan pemandangan jalan raya. Sejak sepuluh menit lalu Dea merenung di Cafe D. Dan minuman favorit yang biasa ia pesan tak sedikit pun ia sesap.
Kedua tangannya memegang sisi cangkir berisi coffee mix yang sudah mendingin. Ia hanya ingin menyendiri sebentar. Dan berusaha mencerna kembali kejadian di sekolahnya.
Dunianya seakan jungkir balik dari dibanding dulu. Hatinya kian berontak berusaha melepas rasa sesak dan pilu yang membelenggu. Namun, apa daya Dea tak mampu melepasnya.
Sesal. Itulah satu kata yang terlintas dipikirannya. Mungkinkah selama ini Dea sebegitu jahatnya pada teman sekelasnya? Atau memang kelakuan Dea sangat buruk di depan warga sekolah selama ini? Lantas kenapa mereka diam saja saat Dea berlaku yang membuat tidak nyaman?
Banyak pertanyaan yang menggumpal dihatinya. Kepalanya sangat pening memikirkan semua kejadian itu. Hanya pertanyaan-pertanyaan saja yang ia lontarkan pada diri sendiri di dalam hati. Dan semua pertanyaan itu tidak bisa dijawab.
Jendela kaca yang Dea pandangi sejak tadi sedikit mengembun karena di luar turun hujan deras. Dea menghela nafas, bola matanya beralih menatap sekitar Cafe D. Cukup sepi, hanya segelintir anak sekolah dan beberapa orang kantor.
"Gue ngerasa puas banget buat si Dea kayak gitu."
"Bagus, sekalian mikir juga sih."
Sepintas Dea mendengar percakapan dua orang perempuan yang masih mengenakan seragam SMA yang sama dengannya. Kedua perempuan itu melintas melewati meja Dea, dan duduk di meja yang berada di tengah. Jaraknya cukup dekat dengan meja Dea. Terlebih lagi meja yang ditempati dua cewek itu termasuk dalam kelompok mejanya.
Yah, konsep di Cafe D ini sedikit unik dalam penataan meja. Meja dan kursi dibentuk berkelompok membentuk persegi dan ditambah satu meja di tengah-tengah. Setiap kelompok berisi lima meja dan sepuluh kursi. Masing-masing meja hanya diisi dua kursi.
Sayup-sayup Dea mendengar kembali percakapan dua perempuan tadi.
"Gue kira lo temenan akrab sama si Dea, ternyata lo sama gak sukanya dengan kelakuan dia." Perempuan yang rambutnya diikat satu itu memulai bicara lagi setelah tergelak. Dea hapal perempuan itu, yang tak lain Devi, teman sekelasnya.
Dan perempuan dengan kacamata kotak yang menghiasi itu, Evi. Dia menjawab dengan angkuh. "Mimpi lo! Gue sama sekali gak suka sama dia. Gue baik cuma formalitas aja. Dan lagi pula siapa juga yang mau sama cewek mulut pedes dan berkelakuan bar-bar kayak dia."
Ucapan terakhir Evi tepat menohok hati Dea. Apa ia seburuk itu?
"Eh, tapi Dean juga mulutnya pedes. Lo gak suka dong cowok macem dia?" tanya Devi lagi sambil menyedot minumannya.
Evi terdiam sebentar sambil menyelesaikan kunyahan kentang gorengnya. "Kalau itu beda lagi."
"Yah, lo tahu 'kan Dean meski mulutnya pedes tetep keliatan memikat. Lagi pula Dean lebih sering ngeluarin kata-kata pedes cuma buat si Dea. Yah, jelas gue seneng. Dan ngerasa kayaknya Dean gak suka banget sama si Dea atau bahkan benci."
Entah sejak kapan Dea cengeng. Tanpa disadari setelah lama menyimak perbincangan kedua teman sekelasnya itu, air matanya lolos membasahi pipi.
Apa bener gue dibenci semua orang?
Terus kenapa mereka gak pernah negur?
Apa setelah ini gue gak akan punya teman?
Gue benci diri gue sendiri!
Benci sebenci bencinya!
Gue-
Kalimat yang ia ucapkan di dalam hati terpotong. Satu pack tisu di lemparkan dari arah samping. Dan mendarat mulus di mejanya. Tangis Dea pun terhenti. Ia menengok.
"Pake."
Cowok itu berbalik, namun Dea lebih cepat menahannya. Dengan menarik ujung jaket levisnya. "Lo benci gue?"
Dean diam membisu. Manik matanya menatap Dea dengan tatapan datar. "Harusnya lo mikir pake otak!" Ucapan Dean begitu pedas menembus hati Dea yang sedang rapuh. Menambah porak-porandalah hati Dea setelah mendengar ucapan pedas Dean.
Setelah itu Dean pergi meninggalkan Dea tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.
🦋
Selasa pagi, Dea berangkat sekolah naik angkutan umum. Sedikit rasa malas menggerogotinya. Tapi, ia tak mau memperburuk keadaan ekonomi keluarganya yang belum stabil.
Sejak kemarin Dea memutuskan mengakhiri les bahasa Inggrisnya. Ia cukup tahu diri untuk tidak merepotkan orang tuanya. Saat ditanya alasannya oleh mamanya Dea hanya menjawab karena Dea malas.
Angkutan umum pagi ini cukup sesak. Matahari sudah kian menyinari dengan teriknya. Arloji ditangan Dea menunjukan pukul 06.50, dan angkotnya masih terjebak macet. Sial betul.
Sepuluh menit lagi gerbang ditutup, Dea harap-harap cemas. Semoga saja belum ditutup.
Setelah sampai tujuan, Dea buru-buru turun dan membayar ongkosnya. Lantas lari-lari melewati gerbang yang nyaris ditutup sedikit lagi oleh anak OSIS yang berjaga.
Napas Dea memburu begitu sampai di kelas. Untunglah guru belum masuk. Lelah juga ternyata. Belum sempat Dea membuka tasnya sindiran dari meja belakang terdengar.
"Kayaknya gara-gara miskin lo jadi telat gini yah. Kasian."
Dea tak menanggapi.
Dea membuka tempat pensilnya hendak mengeluarkan pulpen, tapi sayangnya dari samping mejanya Devi menepis tempat pensil Dea hingga jatuh berceceran.
"Lo gak pantes di sini!"
"Muak gue lihat lo!" timpal Evi.
Dea nyaris menumpahkan air matanya ketika seluruh teman sekelasnya menghujat dirinya habis-habisan.
Indah lo kemana?
Tak ada Indah di sampingnya, tak ada yang bisa membelanya. Ia harus berharap pada siapa lagi? Apa ia akan semenderita ini terus menerus hingga lulus?
Suara pintu kelas dibuka kasar itu menghentikan hujatan-hujatan yang berkoar mendominasi kelas.
"BERISIK LO SEMUA!!"
Kelas tiba-tiba hening ketika Dean berucap demikian lantangnya di depan.
"Mulut macam kalian ini gak pernah disekolahin? Gak pernah diajarin sopan santun?!" bentak Dean membuat seluruh teman sekelasnya membisu.
"Yan-"
"Diem lo! Mau sekalian gue robek mulut lo!" sentak Dean kejam.
Devi dibuat bungkam dengan tatapan tajam Dean. Perempuan itu kembali duduk di tempatnya.
Suasana kelas hening. Dean berjalan menuju bangkunya yang berada paling belakang dan pojok. Matanya dan Dean sempat beradu. Kedua sudut bibir Dea melengkung sedikit nyaris tak terlihat. Dan mengucapkan 'makasih' tanpa suara. Hal itu hanya diacuhkan oleh seorang Dean Putra Negara.
Setidaknya Dea merasa Dean masih peduli padanya, meski tindakannya masih kasar dan mulut pedasnya tidak hilang.
🦋
KAMU SEDANG MEMBACA
DEANITA (TAMAT)
Teen Fiction(#HIJRAHSERIES) "Kalau lo mau ngehina gue, lebih baik lo pergi!" Sederet kata pedas itu terus menghujami Dea ketika ia hendak berkomentar. Konflik yang menyadarkan Dea apa artinya menghargai dan memahami. Dititik terendah barulah Dea paham apa arti...
