🦋DEANITA-21

221 21 0
                                    

🦋

"Dea!"

Mendengar ada yang memanggil namanya, Dea menoleh sebentar. Tapi, kakinya menolak untuk berhenti. Yang ia rasakan sekarang begitu melihat Nisa dengan wajah khawatir membuatnya merasa bersalah. Nalurinya mengatakan bahwa ia harus percaya dengan kebenaran yang disampaikan Dean kemarin malam. Walaupun hatinya berusaha menolak.

"Dea aku minta maaf, kamu salah paham soal aku dan Dean. Kami cuma —"

Dea mengangguk. "Gue tahu, Dean udah jelasin semuanya. Harusnya gue yang minta maaf."

Masih pagi, tapi keduanya harus menyelesaikan kesalahpahaman ini. Nisa menarik napas lega. "Terima kasih." Nisa tersenyum hangat.

"Gue cuma belum tahu alasan dia nyembunyiin soal itu," ungkap Dea kemudian karena rasa penasarannya. Siapa tahu Nisa tahu alasannya.

Keduanya berjalan beriringan menyusuri jalan komplek, untuk sampai ke jalan besar.

Nisa menoleh. "Aku juga gak tahu, soalnya waktu Dean ngajak pun secara tiba-tiba."

Pengakuan Nisa mengalihkan pandangan Dea dari jalan besar yang sudah terlihat. "Yakin?"

"Kalau pun kamu sepenasaran itu, lebih baik coba tanya aja langsung," saran Nisa.

"Aku pamit duluan yah, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Apa? Sepenasaran apapun, gue gak mungkin nanya langsung sama si mulut cabe itu.

Tapi ... aneh kenapa akhir-akhir ini gue penasaran banget sama kehidupan di mulut cabe?


🦋

Setelah pulang sekolah Dea sengaja mampir ke cafe D yang letaknya tak jauh dari sekolah. Instingnya mengatakan bahwa ia akan menemukan semua jawabannya di sini.

Setelah memesan coffee dan menyibukkan diri dengan mengerjakan tugas di laptop, Dea melirik jendela kaca di sebelah kirinya.

Ketika akan mengalihkan pandangan ke sekitarnya, pandangan Dea bertubrukan dengan seseorang yang sedang dicarinya untuk dimintai penjelasan. Namun, tatapan itu tidak berlangsung lama, sebab laki-laki itu lebih dulu memutuskan kontak mata dan melangkah memasuki dapur cafe.

Bosan menunggu, Dea melirik jam tangannya. Sudah tepat menunjukan pukul 16.00. Sepertinya ia harus segera pulang. Lagi pula sudah waktunya sholat ashar.

Dengan terpaksa, Dea beranjak dari tempat duduknya, setelah membereskan laptop dan membayar pesanannya.

Kakinya melangkah kembali menuju sekolah, dikarenakan letaknya yang tak jauh dari cafe. Jadi, Dea memilih kembali ke sekolah untuk sekedar sholat di masjid sekolah.

Sudah pukul 16.25 setelah Dea melaksanakan kewajibannya. Ia masih berdiam diri di dalam masjid. Dan saat ia memutuskan untuk keluar, hujan deras tiba-tiba mengguyur. Urunglah keinginannya untuk segera pulang.

Dea sempat melihat ke bawah tangga, ternyata ada orang lain di sini. Melihat dari sandal yang berjejer di bawah tangga, dan di sebelahnya ada sepatu hitam miliknya. Kebetulan juga, tapi sepertinya bukan perempuan. Sebab dari tadi ia tak melihat ada yang shalat di tempat perempuan. Dan Dea tidak bisa melihat jelas shaf laki-laki karena tertutup tirai pembatas.

Dea tak masuk ke mesjid. Melainkan ia duduk di dekat pintu utama yang terbuat dari kaca. Meskipun dingin, tapi ia rasa ingin sedikit menikmati ketenangan melihat setiap tetes air menyentuh tanah.

Tiba-tiba seseorang bertubuh tinggi menghalangi pandangan Dea. Sebelum ia mendongak laki-laki itu mengangsurkan jaket berwarna putih. "Pake." Satu kata yang dingin itu menyadarkan Dea. Ia kenal suara ini.

Dea berdiri menatap sekilas orang di hadapannya. "Gak perlu," balas Dea tak kalah dingin. Namun, gerakan tangan kanannya yang mengusap tangan kiri yang berbalut seragam sekolah membuat laki-laki di hadapan Dea tanpa perasaan melempar jaketnya.

"Jangan sok kuat."

Suara gemericik air menjadi latar obrolan keduanya. Dea mendelik sebal sedangkan Dean mengubah posisinya jadi sejajar dengan Dea.

"Thanks." Walaupun sebal tapi Dea menghargai kepedulian Dean.

"Apa alasan lo nyembunyiin semuanya?" Tanpa basa-basi Dea langsung membahas mengenai masalah utamanya.

Tak ada respon dari Dean. Hanya suara gemericik air yang kian menderas. Apa suara Dea tenggelam karena derasnya hujan? Dea melirik Dean yang memandangi tiap tetes air yang menyentuh tanah.

"Sama kayak keadaan lo," jawab Dean setelah beberapa menit keheningan melanda keduanya.

Jawaban Dean seolah teka-teki. Ia bahkan tak paham maksudnya apa. "Bisa jelasin lebih detail?"

"Coba pahami sendiri jawaban gue tadi, gak usah manja!"

Dean melangkah menuruni anak tangga. Memakai sandalnya, dan posisi keduanya kali ini berhadapan dalam rentang jarak tiga meter. Dengan posisi Dea yang masih di dekat pintu utama masjid dan Dean yang sudah di bawah anak tangga.

Hujan tiba-tiba berhenti. Seolah paham jika topik yang dibahas kali ini tidak main-main. Dean terdiam menatap Dea dengan sirat tak terbaca. "Gak semua masalah harus dijelaskan gamblang. Jangan lo pikir semua informasi yang lo inginkan akan mudah dicapai. Semua itu butuh PROSES!"

Setelah itu Dean melenggang pergi, dibarengi dengan rintik hujan menyentuh permukaan tanah.

Hati Dea seolah diguncang hebat. Kata-kata terakhir Dean membuatnya terpaku dan kaku. Apakah ia terlalu memaksa? Dea hanya ingin tahu masalahnya, siapa tahu ia bisa membantu. Dan rasa peduli ini entah sejak kapan menetap di hatinya.

Namun, Dea sadar laki-laki bermulut pedas itu tidak butuh bantuannya.

"Lo nyebelin banget, Dean!"

🦋

DEANITA [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang