🦋
Setelah menuruni anak tangga, Dea berjalan menuju meja makan untuk sekedar sarapan. Tapi, sekarang suasananya tak lagi sama Bi Asih sudah tidak bekerja lagi di sini, terlebih lagi belum ada yang menggantikan Bi Asih. Beginilah jadinya, hanya sebungkus roti tawar dan beberapa pilihan selai.
Begitu Dea mendudukkan diri di kursi, ia menatap secarik kertas yang ada di samping roti tawar. Tangannya meraih kertas itu lantas membacanya.
Dea kamu sarapan roti selai yah, Nak. Mama dan papa lagi ada urusan di kantor urgent banget. Maaf yah.
-Mama
Sekali lagi. Apa harus selalu seperti ini. Semenjak kepergian Bi Asih tak ada lagi yang menghibur Dea kala sepi. Meski begitu Dea tetap memakan roti selai dengan tatapan kosong. Hampa, itulah yang Dea rasakan saat ini. Apa ia salah menuntut kedua orangtuanya untuk sedikit memperdulikan keadaan anaknya? Bukan sekedar kata maaf saja. Sudah ribuan kali entah lebih mama dan papanya selalu mengucapkan maaf.
Mood Dea seketika hancur. Begitu sampai di depan pintu ruang kelasnya. Evi, sang bendahara 2 menghampirinya. "De, lo udah nagih patungan buat ultahnya Bu Rahma minggu besok."
Lupa. Itulah yang baru terlintas di kepala Dea begitu Evi bertanya. "Ah, gue lupa."
"Sorry aja nih ya De, gue udah ngehandle uang LKS," ucap Evi.
"Okeh." Tanpa banyak kata Dea melewati Evi.
Belum sampai kaki Dea mendekati tempat duduknya. Dari belakang kepalanya terasa berdenyut begitu tertimpuk sesuatu. Moodnya sudah hancur pagi ini, tapi apa harus terus-terusan membuatnya kesal juga.
Dea berbalik mendapati Dean dengan watadosnya memungut ember plastik berukuran sedang yang ada dihadapan Dea.
Tatapan menusuk itu Dea tujukan pada Dean. Hanya sekedar tatapan, perempuan itu justru langsung duduk. Rasanya tak perlu juga Dea menjabarkan moodnya yang sudah hancur berkeping-keping. Tak ada gunanya juga. Lagi pula, berdebar dengan Dean hanya akan semakin membuat kepalanya sakit.
🦋
"Kenapa Wil?" tanya Dea tanpa menoleh. Ia masih duduk di tempat duduknya setelah lima menit bel istirahat berbunyi.
"Lo ... ada masalah?" tanya William, kemudian duduk disamping Dea.
Sudah terlalu malas bagi Dea menceritakan keluh kesahnya. Indah selaku sahabatnya pun tak Dea beritahu ada masalah apa, karena Indah sudah paham apa yang jadi sumber permasalahannya.
"De, lo gak mau cerita?" Ada sedikit paksaan dari nada bicara William.
Mood Dea belum cukup baik. Jadi, jangan menambah beban lagi dengan memaksa Dea bercerita. Tanpa menoleh kearah William, Dea mendorong kursi hingga suara deritan terdengar jelas di dalam ruang kelas yang sepi.
Di koridor menuju perpustakaan. Dea bertemu dengan Indah. "Dah, please. Jauhin Wili dari gue," pinta Dea.
Dea bersembunyi di belakang Indah. Begitu William tiba di depan Indah. Belum sempat William mengoceh Indah sudah lebih dulu memukul William dengan buku paket fisika pinjamannya. Tahu kan seberapa tebalnya buku paket fisika.
"Dah, lo kenapa sih? Gue cuma mau nanya sama Dea." William mengusap pipi kanannya yang memerah.
"Dea gak mau, lo juga maksa."
"Tapi ..."
"Selangkah lo maju, gue tabok bolak-balik pipi lo pake ini." Indah mengacungkan buku paket fisikanya.
Indah menarik tangan Dea menjauh dari sana. Melihat keadaan Dea yang tak memungkinkan untuk berhadapan dengan William. Indah hapal betul sifat William yang bakalan bikin Dea semakin tertekan.
🦋
Begitu Dea membuka gerbang. Pandangannya terhenti, saat matanya menatap seorang laki-laki dengan jaket putih dan bawahan celana abu, memberikan sebuket bunga mawar merah. Mama menerima bunga tersebut lantas membayar.
Kaki Dea melangkah biasa. Menghampiri mamanya, dan saat itu juga berpapasan dengan laki-laki berjaket putih tadi. Ia tak begitu melihat jelas siapa orangnya.
"Ma, tadi siapa?"
"Oh, tadi mama persen bunga mawar. Di toko bunga yang deket taman itu."
Tangan Dea sibuk melepas sepatu dan kaus kakinya. Tiba-tiba ia teringat dengan ucapan mamanya beberapa menit lalu. Seraya memasuki rumah. Ucapan mamanya berputar-putar dikepala.
Pikirannya masih sama. Hingga Dea mendudukkan diri di tepi kasur. Seingatnya kalau tidak salah toko bunga itu milik keluarga Maira, adik kelas yang bahkan gak Dea kenal. Tapi, laki-laki tadi rasanya familiar.
Waktu berputar layaknya dimajukan secepat kilat. Taburan bintang menghiasi malam ini. Dea sibuk dengan pemikirannya sambil menatap langit gelap disinari rembulan.
"Dea! Ayo makan."
"Iya, Ma."
Sebagai anak satu-satunya mama dan papa Dea merasa kesepian. Dimalam ini sama saja seperti malam-malam sebelumnya. Dimeja kaca bundar ini, hanya ada interaksi sekilas. Hanya sekedar pembahasan klasik, yang Dea sendiri malas mendengarnya.
"Dea, mama dan papa setuju akan memindahkan kamu kesekolah asrama. Dan mama udah masukin kamu les bahasa Inggris."
Disela kunyahan Dea berusaha bersikap biasa. Setelah menelan sisa kunyahannya Dea berhenti. Menatap mama dan papanya bergantian. "Kenapa?" Pertanyaan itulah yang justru mewakili jutaan pertanyaan dibenak Dea.
"Mama rasa kamu perlu belajar mandiri."
Rasanya Dea ingin tertawa sumbang. Apa kata mama tadi mandiri? Dea sungguh tak percaya dengan alasan mamanya itu. Apa harus Dea perjelas. Kalau sebenarnya mama dan papanya malas menanggapi Dea yang selalu menuntut diperhatikan? Seklise itu realitanya.
Deritan kursi terdengar nyaring. Dea beranjak. "Terserah mama dan papa, Dea ikut aja." Gaya bicara Dea terkesan santai. Namun, sebenarnya ada sesuatu hal yang menusuk hatinya.
Derap langkahnya lama kelamaan melemah. Begitu sampai di kamarnya. Dea membanting tubuhnya ke kasur. Tak ada yang tahu sebenarnya di dalam hati, Dea terisak. Menahan rasa kemelut hati yang berusaha mengacaukan pikirannya. Air matanya memang tak keluar. Tapi justru rohaninya yang terluka dan menangis.
Segala sesuatunya memang tak semestinya dijabarkan jelas. Termasuk kenapa Dea setersiksa itu mendengar keputusan mama dan papanya. Mungkin ini yang terbaik.
Ingin, rasanya Dea membenci. Tapi, tak semudah itu. Setiap kali ia berusaha membenci. Kilasan balik tentang kasih sayang mama dan papanya dulu berputar di kepalanya.
Dari luar, Dea terlihat kasar dan emosian. Sejujurnya ada luka yang berusaha disembunyikan diantara gelombang kemarahan itu. Ada sakit yang tak bisa dijelaskan sekadar kata. Dan tak semudah menghilangkan luka dengan kata-kata pendukung. Tidak semudah itu!
🦋
Jangan lupa tinggalkan jejak❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
DEANITA [TAMAT]
Teen Fiction(#HIJRAHSERIES) "Kalau lo mau ngehina gue, lebih baik lo pergi!" Sederet kata pedas itu terus menghujami Dea ketika ia hendak berkomentar. Konflik yang menyadarkan Dea apa artinya menghargai dan memahami. Dititik terendah barulah Dea paham apa arti...