"Aku tak sebaik yang kau ucapkan, tapi aku tidak seburuk yang terlintas di hatimu."
[Ali Bin Abi Thalib]
"Bila ada kata-kata yang melukai hati, menunduklah dan biarkan ia melewatimu. Jangan dimasukan hati agar tak lelah hatimu."
[Ali Bin Abi Thalib]
🦋
Diperjalanan menuju kontrakan, Dea tak sengaja berpapasan dengan Nisa. "Nisa!" Dea melambaikan tangannya dengan wajah berseri.
"Dea?"
"Udah lama gak ketemu, sekarang pindah ke mana?" tanya Dea masih mempertahankan senyumannya.
Nisa balas tersenyum. "Iya, aku pindah masih deket dari daerah sini kok. Aku pindah rumah, di sana perumahan deket kontrakan." Nisa menunjuk ke arah kontrakan tempat Dea tinggal.
"Deket dong."
"Ouh, emang pindah?"
Dea tersadar dengan keadaannya saat ini. Mimik wajah yang semula bersinar terang perlahan redup. Ia ingat siapa dirinya sekarang.
"Lho, kenapa, De? Ada masalah?" Nisa memegang pundak Dea khawatir.
"Ehm, rumah gue disita karena hutang." Meski enggan membahas hal yang sudah berlalu. Tapi, Dea rasa Nisa pun perlu tahu keadaannya sekarang.
"Innalilahi, yang sabar yah."
Dea mengangguk.
"Mau kemana?"
"Ouh, aku mau beli camilan di mini market depan. Mau ikut?"
"Ehm, boleh deh."
🦋
Setelah membeli camilan di mini market, Dea mengajak Nisa jalan-jalan terlebih dahulu. Dan berakhirlah keduanya duduk di Cafe D. Menikmati makanan dan minuman yang tersaji di meja.
"Nis, kamu dari dulu emang berhijab?"
Perempuan dengan alis tebal dan bulu mata lentik itu menatap Dea cukup lama. Sebelum akhirnya menjawab. "Iya, umi dari semenjak kecil udah ajarin aku pakai hijab. Yah, sampai sekarang karena udah terbiasa. Jadi malu kalau buka hijab sembarangan."
Kepala Dea tertunduk. Mulutnya seolah kaku mengucapkan kata-kata yang sudah bertengger lama tidak kepalanya. "Em, Nis apa kamu bisa ajarin aku berhijab?"
Kedua sudut bibir Nisa mengembangkan senyum hangat. "In sya allah."
"Alhamdulillah," ucap Nisa.
"Tapi, aku belum terbiasa."
"Gak apa, sedikit demi sedikit. Yang namanya juga belajar. Gak langsung bisa 'kan?"
Dari arah samping, suara derit kursi memutus percakapan antara Nisa dan Dea. Keduanya kompak menoleh ke samping.
"Gue gabung, yah."
"Ouh iya, silakan," sambut Nisa ramah.
"Dean, kamu sekelas sama Dea 'kan? Gimana keadaan di sana?" tanya Nisa basa-basi.
Tangan Dean sibuk memegang cangkir berisi coffee. Ia meneguknya hingga tersisa seperempat. "Baik, lo gimana?"
"Alhamdulillah, baik juga."
Dalam lingkaran obralan tersebut. Dea mendadak jadi diam, ia tak tahu apa yang harus ditanggapi atau ikut bertanya.
Kenapa sih setiap gue ke cafe ini, si Dean muncul terus.
"Ehem!"
"Gue pamit pulang duluan," ucap Dean kemudian setelah berdehem.
🦋
Seharian ini, semenjak Dea mengenakan hijab lebih banyak siswa-siswi yang terang-terangan menghujatnya. Tapi, Dea harus bisa memegang teguh prinsipnya.
Berubah demi kebaikan!
"Alhamdulillah kalau lo berubah. Gue ikut seneng juga." Indah merangkul bahu Dea semangat.
"Lo kapan?" tanya Dea.
"Ehm, kalau bisa secepatnya sih," jawab Indah dengan cengirannya.
"Kak Dea!"
Seorang perempuan berbandana pink itu menghampiri Dea dan Indah.
"Ini bunga buat kakak." Maira mengangsurkan setangkai bunga mawar merah.
"Dari?"
"Em, sebut saja DN motivasi."
Dea memegang setangkai bunga mawar yang diberikan Maira tak percaya. Setelah Maira pergi, Indah meneliti bunga mawar tersebut. Ia langsung merebut bunga mawar yang ada di genggaman Dea.
"Indah!" pekik Dea.
"Lihat, ada suratnya."
Dea ikut mengintipnya. Lantas segera mengambilnya dari tangan Indah, sebelum temannya itu membaca.
To: Deanita Sri Rahayu
Tersenyumlah!
DN_motivasi
Dea terdiam setelah membaca isi suratnya. Ia kira apa ternyata cuma satu kata saja ditambah dengan tanda seru.
"Hah, yang bener aja. Ini surat atau apa?" keluh Indah setelah membaca isi suratnya.
"Mungkin dia males nulis."
"Halah, gue baru tahu ada orang yang ngirim surat cuma satu kata. Langka yah."
"Udahlah, yuk ke kantin aja!" ajak Dea langsung menarik paksa Indah yang tak hentinya mengoceh.
Dari balik tembok kelas, sepasang netra hitam terang diam-diam mengamati interaksi kedua gadis yang sudah menjauh. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. "Lo harus bertahan," gumam laki-laki tersebut.
🦋
Dalam diam, Dea menelusuri rak buku jajaran novel dan beberapa buku motivasi. Tangannya terulur untuk mengambil salah satu buku bersampul putih.
"Dea."
Gerakan Dea terhenti. Ia menoleh ke samping. "Ya?"
Azis-ketua kelasnya tidak menjawab. Ia mengambil buku yang ada di hadapan Dea. "Buku yang menarik."
Sebenarnya hati Dea masih bergejolak. Ia masih ingat betul Azis tak sedikit pun membelanya saat Dea dihujat habis-habisan di kelas. Dan dengan gampangnya Azis menurunkannya jadi bendahara kelas. Soal jabatan di kelas, memang tak begitu masalah juga sih. Hanya saja perasaan sakit hatinya tiba-tiba terasa begitu berhadapan dengan Azis.
"Lo mau baca?"
"Gak, gue duluan."
"Gue minta maaf."
Ucapan spontan Azis menghentikan langkahnya. Dea mengembuskan napasnya pelan, berusaha mencerna tiga kata yang baru saja dilontarkan Azis. Dea tak boleh egois.
Dea berbalik. Dijarak sekitar setengah meter itu, Dea tersenyum tulus. "Gue maafin."
Meski Dea tahu, tak semudah itu memaafkan orang yang jelas ikut andil dalam menghujatnya. Tapi, sesama manusia harus saling memaafkan bukan? Karena manusia tak luput dari salah.
Tersenyumlah!
Tiba-tiba isi surat dari DN Motivasi melintas. Dalam langkahnya, Dea tersenyum kecil.
Ada-ada saja, gue kira dapet surat dari haters tahunya ada juga ya yang dukung gue.
🦋
KAMU SEDANG MEMBACA
DEANITA (TAMAT)
Teen Fiction(#HIJRAHSERIES) "Kalau lo mau ngehina gue, lebih baik lo pergi!" Sederet kata pedas itu terus menghujami Dea ketika ia hendak berkomentar. Konflik yang menyadarkan Dea apa artinya menghargai dan memahami. Dititik terendah barulah Dea paham apa arti...
