🦋
Dea melangkahkan kakinya menuju meja dijajaran kedua. Pandangannya tertuju pada sebuah amplop coklat yang ada di mejanya. Tentu Dea heran. Siapa yang memberinya ini?
Tangan Dea terulur, setelah beberapa prasangka bergumul dipikirannya. Ia duduk di kursi, lalu membolak-balikan amplop coklat tersebut. Hanya ada tulisan To : Dea. Dea membuka amplop tersebut dan mengeluarkan isinya.
Terkejut. Pasti! Begitu di keluarkan, ternyata isinya uang yang lumayan banyak. Ada kertas yang terjatuh dari selipan uang tersebut.
Kalau kurang bilang.
Tunggu. Dea ingat, sepertinya uang ini dari Dean. Ah, pasti semua ini karena kejadian kemarin. Dea membalikan badan dan mendapati Dean yang sedang fokus bermain ponsel. Setelahnya Dea kembali ke posisi awal.
🦋Pagi tadi setelah selesai jam pelajaran pertama dan kedua. Bu Rahma—selaku wali kelas mengumumkan kepada kelas XI IPA 3, bahwa Nisa akan pindah sekolah hari ini. Dea hanya diam menatap kepergian Nisa bersama Bu Rahma.
"De, lo apain si Nisa sampe itu anak pindah? Lo ngebully?"
Dea menggeplak lengan atas Indah cukup keras. Menatapnya sinis. "Sok tahu!"
"Yakali, De. Lo mah baperan, ah." Indah memberenggut kesal. Niat hati kan hanya ingin bercanda. Eh, tahunya malah kena pukul juga.
Akhirnya, Indah memilih beranjak dari kursi untuk menemui William. Sudah Dea tebak, Indah pasti dikacangin.
"De!" panggil Indah dengan suara toanya.
Mengelus dada pelan. Dea menatap mimik wajah Indah yang tampak kusut. "Kenapa lo?"
Dengan tak sabaran Indah menarik tangannya keluar kelas.
Sepanjang koridor Indah terus-terusan mendumal. "Dasar narsis! Ck, gak berubah. Jadi pengen pites lehernya sampe putus! Mampus lo!"
"Udahlah, ngapain juga sih ngurusin tuh orang. Gak berfaedah."
Indah mengangguk setuju.
Dea dan Indah terkejut saat tiba-tiba tangan seseorang melingkar di leher mereka. Keduanya kompak memukul sadis pelakunya.
"Aw, aw. Sakit," ringisnya, dan hal itu membuat William melepaskan rangkulannya.
"Lo berdua kenapa dah?"
"Pergi sana! Gak kenal lo!" sentak Indah sukses menusuk hati William.
🦋Sepulang sekolah, kaki Dea langsung mengarah menuju dapur. Ia tak mendapati Bi Asih dan Mang Jaja begitu memasuki pekarangan rumah. Kemana mereka?
Tangan Dea mengangkat tudung saji yang ada di meja makan. Nihil, tak ada makanan apapun kecuali sebungkus roti dan selai kacang bekas sarapan tadi pagi.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Dea langsung menoleh ke sumber suara.
"Loh, Bi mau kemana? Kok bawa tas sih?" Dea memandang Bi Asih yang membawa dua buah tas ukuran besar.
"Bibi mau pulang kampung, Non," jawab Bi Asih.
"Kenapa?"
"Bibi udah gak kerja lagi di sini. Bibi mau pindah aja ke kampung. Karena masalah di kampung juga. Maaf ya, Non bibi gak sempet masak. Bibi pamit, yah. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Dea berlari mengejar Bi Asih yang sudah berada di ambang pintu depan. Dan detik itu pun Dea memeluk erat Bi Asih seolah tak mau kehilangan. "Bi, kenapa harus pulang sih, Dea jadi sendirian di rumah."
"Kan ada Mang Jaja." Bi Asih mengelus punggung Dea. Ia tentu tahu keadaan keluarga majikannya itu.
Gelengan. Hanya itulah respon Dea. Setelahnya Dea melepas pelukannya. "Hati-hati, Bi."
"Iyah, Non. Jaga diri baik-baik, yah." Senyum Bisa Asih terbit, kala ia sudah berada di depan pagar.
🦋Awan putih, hal yang kini sedang di pandangi Dea. Kepalanya mendongak terus menatap langit. Detik itu juga, cairan bening mengalir lembut di pipinya. Dengan gerakan cepat Dea menghapus kasar air mata tersebut. Buat apa menangisi? Tangis tak akan mengubah keadaannya bukan?
Bola mata Dea sempat bersitatap dengan seorang perempuan. Pergerakan gadis itu terhenti.
"E-eh Kak Dea," ucapnya tiba-tiba.
Kaki Dea melangkah mendekati perempuan berbandana pink tersebut. Sedikit kernyitan di dahinya. Apa ia mengenal perempuan ini?
"Lo siapa?"
"E-eh a-aku Maira, kak." Kali ini gelagat Maira lebih terlihat aneh.
"Oh, sorry gue lupa."
"Ah, ya."
Dea masih mengamati pergerakan Maira yang terkesan kaku. Meski Dea tak mengingat siapa gadis ini?
"Lo kerja?"
Maira menoleh, setelah mematika kran air yang tersambung ke selang. "Gak, Kak. Ini toko bunga punya keluarga."
Dea hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Mai, Mai!" Dari dalam toko bunga muncul seorang laki-laki dengan jaket putih yang menutupi kepalanya.
"Kenapa, Kak?"
"Ini bunga pesanan Bu Rahma kemana?"
"Sebentar aku cari dulu, Kak." Maira melesat memasuki toko bunga.
"Lo mau beli bunga?"
"Gak."
"Ternyata lo ker-" Belum selesai Dea berbicara. Laki-laki di hadapannya memotong.
"Kalau lo niat ngehina, lebih baik lo pergi!" tegas Dean, menatap tak suka pada Dea.
🦋
Jangan lupa tinggalkan jejak ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
DEANITA [TAMAT]
Teen Fiction(#HIJRAHSERIES) "Kalau lo mau ngehina gue, lebih baik lo pergi!" Sederet kata pedas itu terus menghujami Dea ketika ia hendak berkomentar. Konflik yang menyadarkan Dea apa artinya menghargai dan memahami. Dititik terendah barulah Dea paham apa arti...