🦋
Pukul dua belas siang setelah melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim, Dea duduk di bangku depan kontrakannya. Menatap sekitar lingkungan barunya.
Entah kenapa hati Dea sedikit tersentak melihat kejadian yang jauh di depan sana. Di sebrang kontrakannya juga terdapat kontrakan yang berjajar.
Seorang laki-laki sedang memarahi seorang perempuan berjilbab putih dengan seragam khas anak SMP. Sepertinya baru saja pulang sekolah.
"Kakak bilang kamu jangan terlalu deket sama cowok!" Dea masih mendengar jelas perkataan laki-laki tinggi di sebrang sana. Karena suaranya yang lumayan keras juga.
"Maaf, Kak."
"Dengar yah, kamu tahu 'kan hukumnya? Itu termasuk mendekati zina."
Perempuan berseragam SMP itu menunduk. "Kakak tahu kamu sempet mau terima pacaran dari temen cowok kamu?"
"Maaf."
"Ingat, hukum pacaran dalam islam itu haram. Mengerti?!" Sedikit nada gertakan di sana.
Perempuan berseragam SMP itu memeluknya. "Makasih, Kak."
Sementara itu, Dea yang sejak tadi menyimak dan mengamati interaksi dua orang di sebrang kontrakannya masih terdiam. Hatinya seolah tercubit mendengar apa yang dibicarakan itu. Meski Dea tahu ia tak pernah dekat dengan laki-laki setelah putusnya hubungan dengan seseorang di masa lalu.
"Jangan sekalipun lepas jilbab kamu!"
Lagi-lagi Dea sedikit tersindir dengan ucapan itu. Dea menatap sebentar interaksi dua orang di sebrang kontrakannya. Kemudian mengalihkan pandangan.
Jujur, Dea sedikit malu dengan dirinya sendiri. Ia mengaku beragama islam tapi tidak menunaikan kewajiban seorang muslimah. Yah, menutup auratnya. Karena sejujurnya Dea belum sepenuhnya menutup aurat. Hanya pakaiannya saja yang sopan. Tapi, ia belum memakai jilbab.
Gue belum siap.
Entahlah, kata hati Dea selalu bilang begitu. Dan sejauh ini ia selalu menuruti kata hatinya. Karena satu hal lagi yang membuatnya urung menggunakan jilbab. Saat SMP Dea pernah melihat salah satu teman sekelasnya yang berjilbab lebar di bully. Dari semenjak itu Dea mengurungkan niatnya. Ia hanya takut terkena bully, itu saja.
"Dea!"
"Mama," ucap Dea menatap mamanya yang duduk di sebelahnya.
"Lagi apa?"
"Ini, lagi lihat lingkungan sekitar kontrakan."
Selanjutnya, tak ada percakapan lagi. Hanya ada angin sepoi-sepoi yang membuat rambut sebahu Dea melambai-lambai.
🦋
Indah
Lo izin kemana?
Me
Acara keluarga
Dea rebahan di kasur lantai di dalam kontrakan setelah membalas pesan dari Indah. Dea jadi ingat belum memberitahu sahabatnya perihal musibah yang menimpa perusahaan sang papa. Saking shock-nya kemarin. Tapi, Dea masih ragu.
Ponsel Dea kembali bergetar. Dea segera membuka pesan yang masuk dari Indah.
Indah
Gue ke rumah lo yah, sekalian mau ngerjain pr bareng. Gue pengen nginep di rumah lo boleh 'kan?
Membaca rentetan kalimat yang dikirim Indah membuat Dea pusing. Pasalnya ia belum jujur soal masalah keluarganya. Apa yang harus ia jawab.
Me
Sorry Dah, gak bisa kayaknya. Maaf nih soalnya di rumah lagi banyak keluarga gue. Dan gue tidur bareng sepupu gue.
Indah
Ouh, oke
Dalam hati Dea bersyukur Indah mempercayainya. Semoga saja Indah paham dengan keadaan Dea saat ini.
Dea keluar kontrakan, duduk di kursi depan kontrakannya. Di sana, banyak anak kecil dan beberapa anak SMP, SMA yang bermain bola. Tapi, Dea tak menghiraukan itu.
Tangan Dea sibuk menscroll beranda di sosmednya. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk kecil menikmati lagu yang mengalun lembut lewat earphonenya.
Tanpa Dea sadari. Suara teriakan sudah menggema. Sayang, telinga Dea tersumpal earphone. Jadilah tak bisa mendengar jelas apa maksud teriakan itu. Dea pikir mungkin itu para suporter bolanya.
Dari samping kiri bola melesat cepat mengenai tangan Dea. Karena tak tahu menahu soal kejadian tak terduga tersebut, ponsel yang di pegang Dea jatuh ke lantai. Saat itulah Dea langsung berjongkok menatap ponselnya yang tergeletak kurang dari satu meter.
Hancur sudah ponselnya. Dea masih berjongkok mengambil ponsel serta earphonenya yang berserakan.
"Kak, kami semua minta maaf."
Dea mendongak. Sedikit ada rasa kesal yang membuncah di dadanya. Dengan cepat Dea berdiri menatap tajam laki-laki bercelana biru khas anak SMP.
"Udahlah Bay, gak usah nunggu. Lanjut main aja yok!" Salah satu laki-laki bercelana abu-abu berseru.
Laki-laki bercelana biru di hadapan Dea berbalik karena tak kunjung mendapat jawaban. Tapi, Dea mengintrupsi. Dan bocah SMP itu kembali berbalik.
"Gue minta tanggung jawab atas rusaknya hp gue," ucap Dea dengan nada ketus diiringi tatapan tajam yang dilayangkam pada bocah SMP di hadapannya.
"Kak ...."
Ucapan bocah SMP dihadapan Dea terpotong. Laki-laki bercelana abu-abu itu berjalan mendekati bocah SMP dihadapan Dea.
"Ayok main lagi! Gak usah ladenin cewek gak waras ini!" Laki-laki bercelana abu-abu itu menarik paksa bocah SMP.
Dea melempar sepatu sekolahnya yang kebetulan ada di luar. Dan lemparannya tepat mengenai laki-laki bercelana abu-abu itu.
"Anjir! Ngajak ribut lo!" teriak laki-laki bercelana abu-abu itu maju beberapa langkah, berjalan mendekati Dea.
"Udah, Bang." Bocah SMP itu menarik paksa, meski laki-laki bercelana abu-abu itu memberontak.
Kesal dengan kejadian sore ini. Dea mengambil sepatunya, setelah itu masuk kembali ke kontrakan. Sial. Bagaimana bisa Dea tenang tinggal di sini? Berhadapan dengan anak-anak menyebalkan! Lingkungan yang tak cocok bagi Dea.
🦋
Kalau suka, jangan lupa tinggalkan jejak yaa❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
DEANITA (TAMAT)
Teen Fiction(#HIJRAHSERIES) "Kalau lo mau ngehina gue, lebih baik lo pergi!" Sederet kata pedas itu terus menghujami Dea ketika ia hendak berkomentar. Konflik yang menyadarkan Dea apa artinya menghargai dan memahami. Dititik terendah barulah Dea paham apa arti...
