🦋
Pagi ini Dea lebih dulu bangun, ia tak mau melihat mama dan papanya. Entahlah, keputusan kemarin berhasil memporak-porandakan hatinya. Dea tahu tak semestinya ia bersikap kekanak-kanakan. Tapi, ia tak bisa berdiam diri didalam satu ruangan yang sama dengan mama dan papanya.
Masih pukul setengah enam pagi, sejak Dea berjalan menyusuri deretan rumah di kompleknya. Angin pagi berhasil menembus seragam sekolahnya. Rasa menggigil menyergapnya.
"Dea!"
Panggilan itu menghentikan kaki Dea yang sibuk melangkah.
"De, lo mau berangkat sekolah? Sepagi ini?" Indah menyentuh pundak Dea. Raut wajah Indah terlihat khawatir.
"Lo kenapa?"
Dea menelan ludah kasar. "Gue-" tenggorokan Dea terasa tercekat. Beberapa detik kemudian cairan bening lolos melewati pipinya.
"Ayo, ke rumah gue aja." Indah menarik tangan Dea.
🦋
Di dalam kamar dengan nuansa pink muda itu Dea masih tertunduk dalam di tepi kasur. Indah yang baru keluar dari kamar mandi menghampiri Dea.
Indah duduk di sisi Dea. "Mau cerita?" tanya Indah tanpa paksaan.
"Gue harus gimana, Dah. Mama sama papa mau pindahin gue ke sekolah asrama, sekaligus gue harus ikut les bahasa Inggris."
"Keputusan ada di tangan lo, jangan takut salah memilih."
Angin pagi menembus jendela kamar yang terbuka. Sinar mentari mengikutinya. "Sebaiknya kita berangkat sekolah sebelum terlambat." Indah lebih dulu beranjak dari duduknya diikuti Dea.
Indah sibuk mengikat tali sepatunya, sedangkan Dea sudah selesai memakai sepatu. Dan berdiri tepat di hadapan Indah. "Apa maksud kata-kata lo tadi?"
Pertanyaan yang diajukan Dea bersamaan dengan selesainya Indah mengikat tali sepatu. Ia masih duduk di teras rumah, mendongak menatap Dea yang tampak menanti jawaban yang keluar dari bibirnya. "Lo harus melihat dari sudut pandang lain, untuk membuat keputusan yang tepat. Gue harap lo ngerti. Dan gue rasa lo merasa sakit hati karena lo memusatkan sudut pandang hanya pada satu sisi. Yaitu, cuma dari sisi diri lo sendiri."
Indah berdiri. "Ayo!"
Dea melangkah mendekati motor matic hijau yang sedang dinaiki Indah.
Diperjalanan menuju sekolah Dea sibuk mencerna kata-kata Indah yang begitu sulit dimengerti olehnya. Yang bisa ia tangkap hanya sudut pandang lain. Itu pun Dea masih tak paham maksudnya.
🦋
Sore ini Dea baru saja datang. Kebetulan mama juga hari ini pulang cepat, terkecuali papanya yang tetap pulang malam seperti biasa.
Setelah menyimpan sepatu di rak khusus sepatu, Dea duduk disamping mamanya yang asik menonton televisi. Bahkan Dea belum mengganti seragamnya. Ia hanya ingin segera mengutarakan maksudnya.
"Ma, Dea gak mau sekolah asrama. Kalau les bahasa Inggris gak masalah."
"Begitu, okelah. Mama gak memaksa juga," sahut mamanya tanpa menoleh sedikitpun ke arah Dea.
Sikap mamanya terkesan tak peduli. Dea tak paham kenapa mamanya begitu. Tanpa banyak bicara Dea langsung beranjak dan pergi.
Semudah itukah? Oke Dea memang merasa lebih baik karena mama tak memarahinya atau memaksanya. Tapi, sekarang apa lagi? Sikapnya itu kenapa terkesan acuh. Dea lelah berputar-putar didimensi sendu. Dan tak kunjung menemukan jawaban atas semuanya.
🦋
Jangan lupa tinggalkan jejak ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
DEANITA (TAMAT)
Teen Fiction(#HIJRAHSERIES) "Kalau lo mau ngehina gue, lebih baik lo pergi!" Sederet kata pedas itu terus menghujami Dea ketika ia hendak berkomentar. Konflik yang menyadarkan Dea apa artinya menghargai dan memahami. Dititik terendah barulah Dea paham apa arti...
