🦋
Dua minggu sudah Dea menjalani hari-harinya dengan penuh kekangan. Ia bahkan jarang keluar rumah. Hanya sebatas diam di sekitar rumah. Tak diizinkan pergi ke rumah teman. Alasannya mama dan papanya tidak mau nilai Dea yang mulai membaik seketika anjlok gara-gara kebanyakan main.
Di bawah gerimis Dea duduk di taman belakang rumahnya. Seiring dengan titik hujan yang perlahan menderas, ia menggenggam erat sebuah foto berisi Dea dan kedua orang tuanya.
Bukan tangis yang Dea keluarkan. Namun, teriakan penuh semangat yang ia teriakkan keras-keras.
"AAAAAA."
"SEMANGATT, PASTI BISA!!"
Diderasnya hujan, suara Dea yang begitu kencang seolah tersamarkan. Senyum yang terus mengembang. Dan kata-kata dari Dean yang terus terngiang-ngiang ditelinga Dea.
"Satu lagi, don't forget smile, kalau lo sedih ingat aja lo masih punya segudang kebahagiaan yang lebih banyak dibanding kesedihan itu."
"Oke, gue gak akan nyerah!"
Seperti halnya anak kecil, Dea menari-nari dibawah guyuran hujan yang tak kunjung berhenti. Berputar-putar dengan senyuman terus menghiasi.
Merasa badan sudah kedinginan, Dea bergegas memasuki rumah. Segera mandi agar badan tidak sakit.
Dea tertidur, mungkin karena lelah telah meluapkan seluruh emosinya sore tadi. Lama Dea menunggu waktu terasa cepat. Tepat pukul 23.00 suara ketukan pintu terdengar nyaring.
Kobaran semangat seolah mengelilingi Dea kali ini. Dibukakannya pintu depan menyambut mama dan papa dengan senyuman terbaik. Inilah saatnya meminta sebuah keadilan!
"Ma, Pa Dea mau bicara."
"Nanti saja besok, mama dan papa cape," mama berjalan sedikit lunglai menuju kamar.
"Bahkan mama dan papa gak mungkin bisa!"
"Dea, nanti saja, yah," kata papa mengusap puncak kepala Dea.
"Aku gak butuh janji yang hanya diingkari, buat apa?" ucap Dea tegas dengan sorot mata sendu.
"Mama dan papa kenapa gak bisa ngertiin aku? Apa harus aku yang ngertiin kalian berdua? Aku merasa terkekang Ma, Pa. Hanya saja aku berusaha menutupi. Apa salah kalau aku berusaha meminta keadilan?! Apa salah?!" Napas Dea memburu, dadanya naik turun tak karuan. Ekspresinya sudah tak bisa dikontrol lagi.
Mamanya melempar tas kesembarang arah. Dia menghampiri sang anak dengan raut wajah penuh emosi.
"Kamu pikir kami gak lelah? Gak pusing? Kami pusing mikirin keadaan kantor dan kamu!!" Sedikit jeda beberapa saat. Sebelum akhirnya mamanya kembali bersuara. "Perlu mama jelasin? kantor kita sedang dalam krisis kebangkrutan. Mama dan papa sibuk mengurusi kantor demi siapa? Demi kamu?! Dengar, kamu hanya memandang dari satu sudut pandang saja. Seolah-olah kamu lah yang paling tersakiti di sini. Pernah gak kamu pi—" Belum selesai berbicara, sang papa dari samping menarik tangan istrinya dan langsung memeluk erat.
"Sudah, Ma. Anak kita masih belum benar-benar paham," bisik papa.
"Papa kecewa, gak seharusnya kamu berkata begitu. Papa dan mama tidur duluan."
Tatapan Dea tak lepas dari kedua orangtuanya. Sampai keduanya menghilang dibalik pintu. Dea terduduk lemas menerima semua kenyataan ini.
Apa aku salah?
Kenapa?
Apa aku terlalu memandang dari satu sisi saja?
Benarkah?
Segelintir pertanyaan mulai merasuki pikiran Dea. Ia tak bisa menjawab semua pertanyaan itu. Yang ia lakukan hanya terdiam. Setelah berjalan menuju kamar dan berusaha tidur, meski dalam keadaan hati tidak dalam keadaan baik.
🦋
Sekali lagi Cafe D menjadi tempat pelarian Dea. Kejadian malam itu terus berputar layaknya film pendek yang terus diulang-ulang.
Dea menyesap coffee mix hingga tersisa setengah. Kepalanya sedikit pusing memikirkan masalahnya ini. Dalam satu teguk Dea menghabiskan coffee-nya. Tapi, sakit kepalanya terus menyerang. Ia mengangkat tangan kepada pelayan yang tak jauh darinya.
"Coffee mixnya dua lagi."
Pelayan itu mengangguk, lantas pergi.
Kurang dari lima menit Dea menghabiskan dua cangkir coffee mix. Tak ada yang berubah setelahnya. Rasa pusing masih menyerangnya. Ia memegang kepalanya yang terus berdenyut.
"Are you oke?" Seseorang memegang pundak Dea.
Gelengan kepala sebagai jawabannya. Dea tak begitu jelas melihat wajah laki-laki di hadapannya. Pandangannya terlihat kabur dan akhirnya gelap.
"De, Dea."
Laki-laki tersebut membawa Dea memasuki sebuah ruangan di dalam cafe. Ia memijat pelipis Dea yang sudah dibaluri minyak kayu putih. Selanjutnya tangan Dea dibaluri juga. Dan terakhir ia mendekatkan minyak kayu putih tersebut ke hidung Dea.
"Dean?"
"Ya, lo ada di dalam cafe. Tadi pemiliknya ngizinin, sekalian dikasih obat pula."
"Gue pulang."
"Tunggu."
Dea yang sudah berdiri di dekat pintu membalikan badan.
"Hati-hati."
Dea tak menanggapi. Perempuan itu berlalu pergi dengan pikiran yang berkecamuk.
Dari sekian banyak orang, kenapa harus Dean? Kenapa dia peduli sama gue?
"Stop it, Dea! Lo jangan mudah terpengaruh. Hanya karena Dean tiba-tiba baik bukan berarti lo bisa ngarep!"
🦋
Terimakasih buat yang udah baca ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
DEANITA [TAMAT]
Fiksi Remaja(#HIJRAHSERIES) "Kalau lo mau ngehina gue, lebih baik lo pergi!" Sederet kata pedas itu terus menghujami Dea ketika ia hendak berkomentar. Konflik yang menyadarkan Dea apa artinya menghargai dan memahami. Dititik terendah barulah Dea paham apa arti...