🦋
Terik matahari kian menyorot. Warna jingga perlahan terlukiskan di atas langit. Hamparan awan putih itu bak kanvas yang diwarnai oleh kuas. Sungguh indah pemandangan senja sore ini.
Perempuan berambut sebahu itu mengucapkan salam begitu memasuki rumah. Dea baru saja pulang dari les bahasa Inggrisnya. Tak ada sahutan dari dalam. Hanya sepi yang menyambutnya lagi dan lagi.
Dea melangkah memasuki kamar mandi di dekat dapur. Ia membasuh wajahnya dengan air mengalir. Mungkin dengan ini Dea bisa sedikit tenang. Tanpa dihantui bayang-bayang tentang segala masalah keluarganya.
"Dea!"
Terlonjak kaget, itulah reaksi Dea begitu mengetahui sang mama sudah ada di sampingnya. Memegang bahunya, dan Dea baru sadar ternyata keran airnya belum dimatikan. Ia buru-buru mematikan keran. Lalu menoleh menatap bola mata coklat mamanya yang seolah menghipnotis Dea. Ia berbalik menatap sang mama yang terdiam menatap ke lain arah. Tangan yang semula di pundaknya kini terlepas.
"Jangan lupa makan," ucap mama, setelah itu pergi meninggalkan Dea.
Sempat ada decakan keluar dari mulut Dea. Namun, seterusnya Dea sadar akan perilakunya itu. Tapi, tadi sikap mamanya terasa berbeda. Ada apa? Sorot peduli itu lenyap dalam sekejap dari bola mata coklat mamanya. Sebenarnya apa yang terjadi?
Pukul 20.00 Dea menuruni anak tangga untuk sekedar makan malam seperti biasanya. Langkahnya memelan begitu sampai di tempat duduknya. Duduk sendiri tanpa mama dan papanya. Keduanya sudah lebih dulu menghabiskan makan malam begitu Dea sampai di meja makan.
Senyumnya terbit. Hanya seperkian detik. Bukan senyum tanda bahagia, melainkan senyum miris yang berusaha ditutupi.
Makan malam kali ini sangat berbeda dari biasanya. Bahkan spesial mungkin. Karena Dea hanya makan sendirian di meja makan. Suap demi suap Dea lakukan dengan rasa hampa. Makanannya terasa hambar dan tak ada artinya lagi.
"Habiskan makananmu Dea!" perintah sang mama tiba-tiba datang dari arah dapur dengan segelas air dingin di tangannya.
"Aku udah kenyang, Ma." Tanpa mau tahu jawaban mamanya, Dea beranjak dari kursi.
Gelas dihentak kasar ke atas meja oleh Mama Dea. Menimbulkan keterkejutan pada Dea meski hanya sesaat.
Dea berbalik, enggan menatap manik coklat di seberangnya. "Ma ...."
"Habiskan!" bentak mama menunjuk sepiring nasi yang masih terlihat penuh di atas meja makan.
"Aku kenyang, Ma," jawab Dea, kali ini berani bersitatap dengan manik coklat mamanya.
"Dea dengar tidak!!" Suara sang mama semakin meninggi.
"Ma—"
"CEPAT HABISKAN!!"
Dari ruang tamu papa menyusul ke meja makan begitu mendengar suara ribut. Dengan cepat papanya mengusap pundak istrinya. "Kamu jangan gitu, oke?"
"Lihat mas apa yang dilakukan Dea, dia sama sekali tidak menghargai perjuangan kita mencari uang!!"
"Sabar, Ma. Jangan sampai emosi gitu. Duduk dulu coba." Papa mendudukkan istrinya yang tengah kalut.
"Kamu jangan luapkan emosi pada Dea, itu urusan kantor jangan di bawa ke rumah," bisik papa.
Dea terdiam dengan segala kekalutan pikirannya. Hati kecilnya sedikit tergoncang kala bentakan itu tepat menusuk hati.
🦋
"Ma, Dea minta maaf soal semalam."
"Iya." Satu kata saja dengan nada datar. Pandangan mama fokus pada televisi.
Seharusnya hari minggu adalah hari bersantai bersama mamanya. Harusnya begitu, sebelum akhirnya sang mama terasa menjauh menurut Dea.
"Ma, Dea bo—"
Suara dering ponsel mamanya mengalihkan. Mamanya beranjak pergi menjauh untuk mengangkat telepon. Dea, hanya membisu dengan suara bising televisi yang menjadi latar.
Mama kembali dengan laptopnya. Jangan bilang mamanya kerja. "Ma, Dea mau cerita."
"Mama sibuk, De."
"Ma, aku mau cerita soal sekolah. Nih yah ma di kelas aku selalu dipanggil bendahara ga—" Cerita Dea terhenti, sang mama pergi sambil membawa laptopnya ke taman belakang rumah.
"Ma, Dea belum selesai cerita." Dea berlari mengikuti mamanya yang terus mengabaikannya. Padahal Dea butuh teman cerita.
"Ma, mama." Nihil, panggilan Dea tak berpengaruh sedikit pun. Sang mama tetap sibuk dengan laptopnya. Seolah suara Dea kecil bahkan tak terdengar.
Dengan langkah lesu, Dea berbalik kembali masuk ke dalam rumah. Membanting remote TV hingga baterainya hilang entah kemana.
Di hatinya masih ada secercah harapan. Papa, mungkin papa bisa menjadi teman berceritanya.
Sekitar pukul 21.50 papa pulang. Dea bergegas mencium punggung tangan papa sebagai penyambutan. Dengan secercah harapan Dea memijat papanya. Sedangkan mama sudah tidur di kamar.
"Pa, Dea mau cerita."
"Hhh ... papa ngantuk Dea. Cape, papa duluan."
Cairan hangat itu mulai membanjiri pipi Dea. Berjatuhan tiada henti dari kelopak mata indahnya. Harapannya seolah dipatahkan untuk kedua kalinya, ia rasa tidak akan lagi mengharapkan apapun dan berakhir sesakit ini.
Mungkinkah akan begini sampai seterusnya? Keluarga yang tak lagi harmonis. Dea bagaikan pajangan yang hanya diperhatikan jika terjadi sesuatu. Apakah begitu?
🦋
Terimakasih buat yang udah baca cerita ini❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
DEANITA (TAMAT)
Teen Fiction(#HIJRAHSERIES) "Kalau lo mau ngehina gue, lebih baik lo pergi!" Sederet kata pedas itu terus menghujami Dea ketika ia hendak berkomentar. Konflik yang menyadarkan Dea apa artinya menghargai dan memahami. Dititik terendah barulah Dea paham apa arti...
