PROLOG

1K 117 242
                                    

Sinar mentari pertama menerobos dinding kaca, diikuti kokok ayam jantan beserta iringan kicauan merdu burung-burung mungil di atas sana. Mataku mengerjap silau terkena sorot matahari yang bagaikan laser menghunus tajam wajah dengan kehangatannya. Menggeliat, aku beranjak duduk di tepi ranjang, mengumpulkan kesadaran yang kembali membawaku pada dunia fana.

Bibirku melebar sempurna seiring tangan yang menyibak gorden. Berdiri aku di sana melihat jalanan yang mulai ramai dijajaki. Ibu-ibu sibuk mengerubungi tukang sayur, wajahnya mengerut sedemikian rupa kala negosiasi harga dirasa tak berpihak padanya. Sementara, anak-anak mereka berlarian kesana-kemari dengan mainan mobil truk di tangan masing-masing.

Saat aku mengalihkan pandang ke ujung jalan, di sana kutemui muda-mudi sedang berangkulan. Sesekali mereka tertawa untuk kemudian saling mencubit hidung sesamanya. Entah bagaimana, kenangan itu kembali melintas di ingatanku. Membawaku kembali pada kenyamanan sembilan tahun silam saat senyuman itu menjadi kegemaranku.

Aku melangkah mendekati lemari, berjinjit menggapai kotak kayu berukuran sedang di atasnya. Saat menyentuhnya, hatiku berdesir hebat. Buru-buru aku taruh kotak tersebut di meja yang menghadap langsung ke dinding kaca, membukanya perlahan.

Ketujuh surat itu masih lengkap, masih rapi seperti baru. Semenjak kepergiannya, surat-surat mungil warna-warni ini tak pernah kusentuh sekali pun. Kini aku bahkan membuka salah satunya, membaca selebaran berisi tulisan tangan yang amat elok. Setiap kalimatnya meninggalkan bayang-bayang semu yang masih kuingat jelas, setiap kalimatnya meninggalkan seutas senyum berlesung pipit yang selalu menjadi kesukaanku.

"Sayang?"

Aku tak menoleh atau menyahut. Aku tahu siapa seseorang yang sekarang memanggilku dengan sebutan manis itu. Saat dia berada tepat di sampingku, barulah aku meliriknya. Bibirku kian mengembang begitupun dengannya.

Senyuman sembilan tahun silam memang bukan miliku lagi sekarang, tetapi senyuman seseorang di sampingku ini selamanya untukku. Dia takkan hilang, dia takkan menjauh. Sebab, selama duapuluh tiga tahun aku hidup, dialah jatuh cinta abadiku.

"Aku siap membacanya!" Aku menyengir, mengangkat lembaran surat tinggi-tinggi di hadapannya.

***

😇WELCOME TO MY STORY😇
.
.
.

.

.

Terima kasih, untuk dia ... yang menjadi bayang-banyang setiap kali aku menulis kata dan kalimat yang kutuangkan dalam cerita ...

DUA HATI SATU (RAHASIA)
____________________________________

Dua Hati Satu (Rahasia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang