18 | Surat Cinta Yang Tertunda

178 19 0
                                    

Chapter ini penuh spoiler untuk ending nanti. Si Pengarang harap, yang baca tidak menyadari. Salam sapi imuet🐮

____

Kamu tahu apa yang paling membahagiakan di dunia ini? Adalah mimpi-mimpi yang tergapai setelah bersusah-susah mengejar.

***

Bukk!

Buku mungil berwarna biru itu tergelatak di atas meja setelah aku membantingnya. Agaknya suara kecil tersebut menarik beberapa pandang mata karena keadaan kelas cukup sepi, belum semua teman-teman datang.

Sementara di langit sana burung-burung riang berkicau, sedikit membuatku tenang. Udara segar masuk dari celah-celah jendela, menerbangkan gorden yang tersibak. Tasana, yang saat itu sedang menyapu lantai, berlari kecil menghampiri 'ku yang bersitegang dengan Tiya.

"Ada apa, Ron?" Dia berbisik.

Aku tidak menghiraukan, mataku menghunus Tiya tajam. "Game over ... permainanmu sudah selesai, Tiya."

Tiya menunjukan raut kebingungan, membuatku semakin kesal terhadapnya. "Sudah cukup! Kamu membuatku memfitnah Aryan!" Aku berseru, Tasana di sebelahku terjengit kaget.

"Oh ... " Tiya mengangguk, lantas kepalanya menengok ke segala arah. "Di mana aryan?"

"Sahabatku tidak akan suka sama teman yang berkhianat. Jangan berharap!" Aku berkata ketus.

Tiya diam sejenak, mungkin tersinggung. "Baguslah kamu sudah tahu! Setidaknya aku tidak perlu merasakan dosa lagi ... " Tiya memasukan buku paket dan perlatan tulis ke dalam tas-nya. "Padahal, ya, apa yang kulakukan itu tidak salah! Justru cerdas."

Aku mengepal tangan. Lagi-lagi Tasana di sebelahku berbisik. "Sabar, Ron, jangan kaupukul dia. Nanti kelas kita ramai!" Mengusap kepalan tanganku.

"Tidak perlu kamu menyuruhku, aku akan pindah tempat duduk sekarang." Tiya terkekeh mengatakannya. Dia kira ini lelucon?!

"Idoy! Kita tukerlah!"

Tanpa menunggu jawaban Tasana, si Pengkhianat itu sudah melangkah. "Ok siap. Eh, Ron, tidak apa-apa?" Tasana menoleh padaku. Aku mengangguk.

Padahal aku masih marah pada Tiya. Aku masih belum puas beradu mulut dengannya. Hei, bahkan dia tidak meminta maaf! Bagaimana bisa aku diam begitu saja sementara dia mengobrol dan bergurau dengan teman-teman lain seolah tidak memiliki dosa apa-apa, seolah ... akulah yang salah.

Mengepal tangan, aku melangkah cepat menujunya. Kali ini Tasana tak berhasil membujukku agar menahan emosi. Teman-teman kelas kembali memandangi kami. Bibah, yang sedang mengobrol bersama Tiya pun, seketika bungkam.

"KENAPA KAMU MELAKUKAN ITU?! KENAPA KAMU TEGA SEKALI!" Aku berteriak mengalahkan suara burung yang berkicau merdu. Amarahku benar-benar sudah memuncak, tetapi Tiya tetap santai di bangkunya.

"Kau sudah membaca buku diary-ku 'kan, Ron? Jadi seharusnya kamu tahu apa alasanku. Perkara selesai." Tiya melipat tangan.

"Enak saja kamu bilang begitu?!" Aku semakin geram.

"Terus, kamu mau aku bilang apa? Bilang, 'Aku minta maaf, Rona! Jangan membenci aku'," Tiya terkekeh-kekeh. "aku tidak mau, bodo amat, I don't care!"

Dua Hati Satu (Rahasia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang