11 | Mencintai dalam Sepi

169 26 2
                                    

Yang kulakukan sekarang, hanyalah mencintaimu dalam sepi. Kupendam dalam-dalam semua detak, senyuman, juga sorot mata penuh rasa. Kutunjukan pada dunia seolah aku tak benar menyukaimu, seolah aku biasa saja melihatmu bahagia bersamanya.

》》¤《《

Hari ini kembali kuisi waktu liburku dengan berlatih silat. Saat itu setelah tiba di rumah, aku menyuruh Damar untuk tidak menjemputku lagi atau mama akan kembali menggoda habis-habisan. Cukup sekali saja aku dipermalukan mama.

Beruntungnya hari ini papa libur bekerja jadi beliau bisa mengantarku ke padepokan. Yang tak terduga ketika dua orang yang amat kukenal memasang cengiran lebar saat aku membuka pintu belakang mobilku. Sungguh, aku luar biasa kaget!

Mereka tak bilang-bilang akan ikut bersamaku ke padepokan, kemarin. Dan sekarang dengan tanpa dosanya muncul tiba-tiba di kursi belakang di detik-detik keberangkatanku.

"Aryan dan Tiya pagi-pagi sekali ke sini, katanya mereka ingin ikut ke padepokan. Papa tidak sempat memberitahumu, Ron, karena daritadi kamu sibuk sekali mempersiapkan perlengkapan silat."

Papa membuka pintu mobil kemudian duduk di kursi kemudi, sementara aku menggeleng pelan.

"Kenapa gak kabarin dulu kalau mau ikut, dasar menyebalkan!" Aku berkata masam

Aryan dan Tiya saling tengok lantas tertawa ringan. Mereka bergeser dan mempersilakanku duduk. Saat ini, kita seperti sedang bertravel dan papa sebagai sopir sekaligus pemandu. Perjalanan kami lancar meskipun satu-dua terjadi kemacetan, tetapi tidak menguras banyak waktu hingga kendaraan kami parkir di halaman padepokan.

Tadinya kupikir hariku akan kembali menyenangkan seperti kemarin-kemarin, tetapi setelah langkah pertamaku keluar dari pintu mobil, aku tersadar, harapan semu yang kita ciptakan sendiri di dalam tempurung kepala menjadi alasan dari segala bentuk kepatahatian.

***

"Turut berduka cinta, ya, Ron!"

Aku menghayati setiap pemandangan yang tersaji di Sm Padepokan. Senyumannya, lengkung matanya, gerakannya, aku acapkali dibuat terpana untuk akhirnya semakin terjatuh dan terjatuh lagi.

Seharusnya sejak awal aku menepi, seharusnya kubiarkan seorang yang kusuka berpegangan erat bersama pujaan hatinya dan melewatiku yang bukan apa-apa. Seharusnya begitu ... bukan bersikukuh dengan angan yang menimbulkan keluhan.

"Gimana, Dam? Aduh, gerakanmu susah sekali, tahu!"

Aku tersenyum suram saat Damar dengan sabar mengoreksi gerakan dasar pencak silat yang Dahayu lakukan. Kendati peluh menetes-netes dari permukaan kulit, dia tetap tersenyum sehangat mentari untuk orang yang mungkin saja dia cintai.

Om Ben tadinya menyuruhku untuk melatih gerakan dasar pada Dahayu yang baru saja mendaftarkan diri untuk belajar silat di padepokan, tetapi Dahayu meminta Damar yang mengajarkannya. Aku tidak bisa menolak atau bahkan menyanggahnya, lagipula Damar sudah cukup menguasai teknik paling pertama persilatan dengan baik meskipun dia baru beberapa kali berlatih. Agaknya, Damar memiliki kemampuan belajar cepat yang patut diapresiasi.

Celakanya, pahit sekali rasanya melihat mereka bercengkerama begitu dekat, bahkan melebihi sepasang kekasih.

"Kau tidak mendengarkanku ngomong, kawan!" Tiya merangkul bahu, membuatku tersadar bahwa sedari tadi ada mahkluk yang menemaniku di pinggir Sm.

Dua Hati Satu (Rahasia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang