14 | Hilang Kepercayaan

153 21 5
                                    

Ada saatnya aku berbenah, menata kembali hati yang sempurna patah. Untuk Tuan, kupersilahkan datang mengisi kembali lembar perasaan yang kemarin-kemarin terbuang dan tercampakkan.

》》¤《《

Langkahku menyisakan bekas telapak bersama dengan luapan emosi dan bulir air yang berjatuhan menghias wajah. Banyak  mata menatapku terpana. Kuseka ingus yang mulai menyebalkan, kuseka air mata yang malah semakin menyesakkan. Di sana, saat semua orang asyik bercengkerama--- mengerjakan tugas yang belum usai dan riang berpose di depan kamera, langkahku berhenti.

Tidak ada yang lebih menarik perhatianku selain Aryan yang tenggelam dalam bacaannya.

"PENGECUT!" Aku berlari ke arahnya membuat teman-teman kelas terbingung-bingung memerhatikan.

"Kau pengecut!"

Aku melemparkan buku yang sedang dibacanya tanpa berpikir, tidak pantas memerlakukan sumber pengetahuan seperti itu.

"Kamu jahat sekali, sungguh jahat ...." Aku terisak.

Tangan Aryan hendak menyentuhku, tetapi segera kutepis.

"Apa susahnya menjaga rahasia, hah!? Padahal kamu hanya perlu menutup mulut, menjaga sepenuh hati kepercayaanku!"

Muka Aryan merah padam.

"Kau tahu, Yan?" Aku menunjuk wajahnya, "sikapmu hari ini membutikan bahwa kau seorang pengecut! Kamu memilih menyelesaikan masalah dengan cara instan, membocorkan rahasia besar musuh yang kau ketahui, itu sungguh pilihan paling bodoh, paling tak berbudi.

"Kamu juga telah menghancurkan banyak kepercayaan yang telah orang lain berikan padamu. Tanpa tahu malu, tanpa tahu diri ... kepercayaan itu mahal sekali harganya. Sekali kau menghianatinya, meskipun kau sudah berjanji akan berubah, layaknya gelas yang pecah jikapun bisa diperbaiki kembali, tidak akan bisa menutupi bekas retakannya."

Aku tak pernah memberikan ruang untuk Aryan bicara. Hingga aku sampai di kalimat akhir, lantas melenggang bersama beban batin yang sedikit meringan.

"Aku membencimu sebanyak penghianatan yang kamu perbuat. Sungguh, amat membencimu."

Aku tahu kalimat terakhirku jelas menyakiti hati Aryan. Aku lupa nasihat papa, hingga kau besar nanti, jangan pernah ikuti gagasan yang diciptakan amarahmu, ingat selalu pesan ini putriku. Aku ingat sekali, papa mengatakannya saat aku sedang menangis setelah diolok-olok teman-teman tentang pekerjaan papa yang seorang polisi. Mereka bilang papaku jahat sering menembak orang-orang, padahal aku tahu, papa menembak mereka karena mereka melakukan tindak kriminal.

Aku keliru, amat keliru.

**

Tidak berhenti sampai di situ kesialanku hari ini. Di koridor saat aku hendak ke kantin mencari Tiya yang sempat terlupakan, aku berjumpa dengan Damar. Dengan senyuman ia menyapa, tetapi entah mengapa aku merasa senyuman itu berbeda. Bolehkah aku berspekulasi--- senyuman itu sarat olokkan.

"Kapan kita akan latihan silat lagi?" Damar berbasa-basi bertanya. Aku hanya menatapnya datar.

"Hai, Ron? Kenapa kamu diam saja?" Damar melambaikan tangannya di wajahku.

"To the point saja, kamu mau meledekku, 'kan? Bilang, 'Rona ternyata diam-diam suka padaku, bodoh sekali padahal aku tidak pernah menyukainya'. Kalo kamu hanya mau meledekku, silakan. Akan aku dengarkan baik-baik karena itu memang kenyataannya. Aku suka padamu dan kau tidak suka padaku. Jelas sekali pernyataannnya." Kuseka air mataku yang entah sejak kapan kembali mengalir. Kemudian aku melenggang meninggalkan Damar yang terdiam.

***

"Tega sekali dia mempermalukan sahabatnya sendiri ...."

Keadaan kantin cukup ramai kala aku menemukan Tiya sedang duduk santai sambil melahap jajanannya. Kupikir mengeluarkan segala unek-unek yang menyebabkan ketidaknyamanan jauh lebih baik daripada memendamnya. Cara itu terbukti jitu menghilangkan sedikit atau bahkan semua beban yang dirasakan layaknya air yang dipanaskan, semua buncah akan menguap ke udara.

"Aryan pasti punya alasan melakukannya, Ron."

Tiya mengusap pipiku yang berlinangan air mata setelah menjelaskan apa yang terjadi. Dia beberapa kali membesarkan hatiku, menyuruh bersabar dan selalu berprasangka baik. Tentu Aryan melakukan itu karena sebuah alasan, tetapi apapun alasannya, apapun penjelasan terbaiknya, dia tidak punya hak malakukan itu.

Aku menghela napas. "Tadi, aku bertemu Damar ..."

"Terus?" Tiya mengernyit penasaran.

Aku menggeleng. "Ti, untuk beberapa hari ke depan, aku tidak ingin bertemu Aryan dan Damar ...." Suaraku mencicit di ujung kalimat.

"Berapa lama?"

"Tidak tahu."

Kali ini dia tertawa kecil. "Ron, terserah kamu mau bersikap seperti apa. Aku hanya akan mengingatkan ketika kamu bersikap berlebihan. Itulah tugas seorang teman--- netral--- tidak belok ke kubu manapun. Kalo dalam PPKN itu disebut Politik Bebas Aktif." Tiya mengedipkan sebelah matanya membuatku mau tidak mau menyungging senyum, lantas ia memesankanku batagor.

Saat itu amarah benar-benar menguasai hingga aku lupa bahwa, suatu kebenaran akan tampak jika kita mengkaji secara Objektif bukan Subjektif.

Dan aku tahu, aku telah banyak keliru dengan semua sudut pandangku.

***

________________________________________

Politik Bebas Aktif (Asas yang di anut Indonesia dalam hubungan internasional di mana salah satunya berarti tidak memihak ke blok manapun, baik blok barat maupun blok timur (itu yang saya ingat dan saya tahu, untuk menghindari kesalahan informasi lebih baik anda semua cari referensi di buku-buku terutama PPKN atau kalau mau lebih gampang cari di google. Ok?!))

_______________________________________

uWUu♨

Aku senang Aryan dan Rona berantem, HAHAHA😄

..

🚫BELUM REVISI ULANG🚫

🌹MOHON MAAF APABILA ADA KESALAHAN PENULISAN🌹

💔REVISI (Narasi, alur dan tanda baca) SETELAH TAMAT💔

.
.

🎀Terimakasih🎀

Dua Hati Satu (Rahasia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang