Satu dari sekian banyak perjumpaan: denganmu aku menyukainya, dua dari sekian banyak kesempatan: mengenalmu yang paling menyenangkan, tiga dari sekian banyak kasih sayang: untukmu aku lebihkan.
》¤《
Besoknya di pagi buta, Damar sudah mengobrol hangat bersama papa di ruang tamu. Dia mengenakan kaus putih dibalut jaket kulit berwarna cokelat beserta celana jeans panjang. Rambutnya dipotong rapi, membuatnya bertambah tampan?
Astaga?! Aku menelengkan kepala. Aku bahkan belum bersiap, mama baru saja membangunkan. Bergegas kembali ke kamar, aku mandi buru-buru, memakai baju buru-buru. Pastinya kesemua buru-buru itu aku kerjakan bersama seutas senyum yang tak pernah surut di wajah. Mama yang sedang mengepang rambutku, tersenyum menggoda. Pipiku memerah.
"Apa Mama bilang? Kita hanya perlu berkata barang satu kalimat untuk menyuarakan perasaan, maka semuanya akan terasa lebih ringan," cakap Mama memandang lurus cermin, tepatnya menatapku dengan mata teduhnya.
Namun, entah mengapa mendengarnya membuat dada menyesak. Bukan karena perasaan yang akhirnya bisa tersuarakan dengan jelas, melainkan setelah ini, setelah aku dan Damar kembali pulang, semuanya akan berubah. Akan ada yang hilang separuh hal yang aku sukai, dan itu jelas lebih sulit daripada memendam rasa suka selama ini.
Tidak terasa, Mama sudah selesai mengepang rambutku. Mama menyuruh berdiri, memerhatikan penampilanku dari atas ke bawah. Beliau mengangguk seraya tersenyum menyenangkan.
"Anak mama imut sekali!" Mama mencium dahi, sementara aku mematut diri di cermin.
Sama seperti Damar, hari ini aku mengenakan kaus putih berlengan panjang. Bedanya, aku melapisi dengan baju kodok berbahan lepis. Sepatu sneakers putih kugunakan sebagai alas kaki. Mama benar, aku terlihat berbeda sekarang, mungkin karena polesan tipis perona pipi dan liptin. Keseluruhnya, penampilanku tidak mengecewakan.
Lima belas menit aku bersiap, setelahnya Damar memutuskan untuk segera melenggang. Mama dan papa menyeringai menggoda saat Damar menghidupkan motor besarnya--- yang mana baru pertama kali aku lihat dia memakai motor tersebut. Aku berpaling ketika akhirnya Damar memakaikanku helm cantik. Setidaknya bukan helm kuno yang beberapa bulan lalu Tiya berikan padaku.
Kami melenggang di jalanan beraspal yang lembap bekas hujan semalaman. Diam-diam Damar melirikku dari kaca spion, membuat pipi kian menghangat. Itu tak bertahan lama ketika Damar berbelok masuk ke perkebunan teh. Aku tak bisa untuk tidak bertanya, "Ke rumah pohon lagi?"
Damar hanya melirikku dengan senyum tipisnya tanpa repot menjawab. Aku menghela napas. Selama itu bersama Damar, semuanya akan menyenangkan. Sekali pun kami seharian hanya berdiam diri di rumah pohon, memandang hamparan perkebunan teh atau mendengarnya bernyanyi, Itu tidak buruk-buruk amat.
Namun, tebakanku keliru. Damar tidak mengajak ke rumah pohon tersebut. Setelah ia turun dari motor dan melepas helmet-nya, aku melakukan hal yang sama kemudian membuntuti dari belakang. Jalur yang kami lalui jelas tak sedikit pun mengarah ke sana, langkah kami justru semakin jauh ke Barat, membuatku lebih jelas melihat kandang kuda besar. Dindingnya kokoh terlihat dari jarak sepuluh meter, tiang-tiang tinggi menjulang. Tujuh meter, di sekitar kami sudah tidak ada lagi tanaman teh. Terdapat pagar kayu yang menjadi sekat antara tanaman teh dengan rumput hijau segar yang terhampar sejauh mata memandang.
Damar terus berjalan beberapa sentimeter di depanku. Ketika kami sampai di depan gerbang besar, ia menahan langkahnya sebentar sebelum meminta petugas membuka gerbangnya. Tangan Damar bergerak menggenggam tanganku, menautkan setiap jemarinya di antara jemariku. Aku tak kuasa menggambarkan bagaimana rupa wajah sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Hati Satu (Rahasia)
Novela JuvenilTeruntuk dia di antara surat-surat mungil tak berbalas, bisakah aku merengkuh dengan sebenar-benarnya? Pun, teruntuk kamu yang telah sabar mencintai, maukah jatuh cinta sekali lagi? :: Rona tahu, memu...