Jatuh cinta tak terprediksi dan tak terkira. Terasa namun tak berwujud, bukan tak logis, bukan pula dapat dijelaskan akal. Karena setidakmengerti itulah alasanku menyukaimu.
》》¤《《
"Masih pake sepeda yah, Yan. Kukira setelah SMA bakal naik kasta jadi pake mobil atau sesedikitnya motor bebek."
Aku menyeringai, memperhatikan tangan Aryan yang bergerak menyeka peluh untuk kemudian kembali menyatukan rantai sepeda dengan substrat-nya. Karena suntuk, aku melakukan hal tak berfaedah semacam; menghitung setiap gerakan tangannya. Sesekali melirik alat pengukur waktu di lengan kanan, memastikan jarum panjang tidak melewati angka dua belas atau kami akan terlambat bersekolah. Tidak ada yang menginginkan telat di hari pertama tahun pelajaran baru, 'kan?
Aku bisa saja meninggalkan Aryan dengan mencari angkutan umum. Namun, itu sikap tidak berbudi. Selain karena kami sudah terbiasa berangkat-pulang sekolah bersama menggunakan sepeda tanpa dudukan penumpang---yang setiap pagi ada saja penyakitnya seperti: rantai copotlah, ban bocor, pijakan belakang patahlah; yang mana tempatku berdiri berpegangan pada leher Aryan ketika sepeda melaju. Kadang aku suka mengeluh melihat teman-teman pulang diboncengi kendaraan modern, kadang pula bersyukur saat jalur utama menuju sekolah macet parah, tetapi aku tetap sampai tepat waktu. Ya, karena kami memakai sepeda.
"Kamu tidak tahu, ya? Yang tradisional itu malah lebih menyehatkan daripada yang instan." Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Aryan membalas sindiranku.
Namun, pagi itu aku sedang sial. Jalan utama menuju sekolah macet parah sampai sepeda pun sukar bergerak. Mereka para pengendara motor---entah di mana hati nuraninya---tega menguasai jalur sepeda hingga kami tersudut, nyaris tidak dapat celah sedikit pun. Aku ingin menangis sekali, hari ini tidak boleh terlambat. Apalagi ini hari pertama kami menginjakkan kaki di SMA, akan terlihat buruk sekali kalau di hari pertama saja sudah melanggar peraturan.
Terlepas dari laju sepeda yang seperti siput, satu meter di depan kami terlihat gang besar di sebelah kiri. Maka, tanpa ragu Aryan segera menambah kecepatan. Tidak peduli stang sepedanya menyenggol bapak pengemudi ojek online, Aryan memasuki gang itu. Melaju cepat mengikuti arahan aspal jalan. Jika jalan itu berbelok ke kiri, maka Aryan mengarahkan stang ke kiri.
Aku menelan ludah. Sungguh, ini pertama kali kami melalui gang ini. Semoga saja Aryan tidak salah memilih jalan dalam artian sebenarnya. Dan, siapa sangka? Jauh di dalam gang ini tersimpan surga dunia! Baiklah itu terlalu lebay.
Adalah perkebunan teh yang terhampar sejauh mata memandang. Kiri-kanan depan-belakang tanaman teh mengepung kami, menakjubkan melihatnya. Aroma daun muda tercium menyegarkan, belum lagi udara berembus lembut menerbangkan satu-dua helai rambut. Kira-kira dua puluh meter dari tempat kami, berdiri pohon mangga besar amat rindang beserta batangnya yang kukuh tinggi menjulang. Pohon tersebut seolah Raja dari pohon-pohon di sekitarnya yang ramping; pohon pinus.
"Sejak kapan di daerah kita ada perkebunan teh?!" Aku berseru, mengeratkan tangan yang melingkari leher Aryan.
"Yang pasti bukan kemarin jawabannya!"
Aku tergelak menepuk pundak Aryan. Besok-besok jalan ini akan menjadi alternatif kami ketika jalan utama terkena macet, besok-besok perkebunan teh ini akan menorehkan kenangan terhebat dalam hidupku.
Besok-besok, siapa yang menyangka? Di sinilah tempat terakhirku melepasnya.
**
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Hati Satu (Rahasia)
Teen FictionTeruntuk dia di antara surat-surat mungil tak berbalas, bisakah aku merengkuh dengan sebenar-benarnya? Pun, teruntuk kamu yang telah sabar mencintai, maukah jatuh cinta sekali lagi? :: Rona tahu, memu...