04 | Nirmala dan Pujangga

299 55 96
                                    

Jatuh cinta itu melelahkan. Anehnya, mengapa terus kaulanjutkan?

》》¤《《


Pagi-pagi sekali aku berangkat sekolah. Sendiri. Aku bahkan melewati sarapan bersama mama dan papa, aku tidak mau mereka menyadari wajahku yang muram sekali. Aku juga tidak memberitahu Aryan akan berangkat duluan.

Tiba di kelas, aku kembali seorang diri. Teman-teman tampaknya tidak ada yang minat berangkat sekolah pukul enam kurang. Lagian siapa orang idiot yang mau berangkat sepagi ini? Selain aku korban jatuh cinta.

Oh tidak ... sepertinya aku sudah melenceng.

Mendengus bosan, aku menatap awan. Pagi ini matahari agaknya tahu suasana hatiku, ia sengaja memperburuk moodku dengan tidak muncul di permukaan langit. Awan menggumpal tampak seperti gelombang tak berujung, pekat sekali hingga rasanya pagi hari bagaikan malam hari. Dinginnya angin yang berembus menusuk-nusuk reseptor kulit, sehingga kedua tanganku saling mengeratkan.

"Kutunggu balasannya."

Aku menatap ke luar kelas, lagi-lagi netraku menangkap hal yang kubenci. Aku mencoba tidak peduli saat kedua tangan mereka saling bertemu, walaupun kutahu Damar hanya memberikan sepucuk surat beramplop merah pada Dahayu.

Dan aku tidak peduli saat air muka Dahayu seperti tidak nyaman.

Aku tidak peduli sungguh, ... tetapi saat lensaku dan Damar bertemu, perasaan itu kembali menguap. Mata teduhnya yang melengkung bak sabit saat tersenyum, selalu membuatku tenggelam dalam angan yang nantinya menyakitiku. Dan aku tidak bisa tidak peduli pada apa-apa yang suatu saat menyesakkan batinku.

Aku menyukainya. Namun, pernyataan itu tidak bisa menjamin aku memilikinya, seutuhnya.

Karena aku tahu, ada orang yang lebih berhak memiliki Damar, mencintai Damar dan juga dicintai Damar. Dia adalah Dahayu Arsya. Aku sadar diri, tentu saja! Jika dibandingkan dengannya, aku bukan apa-apa. Aku bahkan tidak pantas menjadi saingannya.

Tapi, apa salahnya jatuh cinta? Mau bagaimana lagi, perasaan itu tidak bisa ditutupi seperti saat menangis kau hanya perlu menyekanya dengan selembar tissue. Perasaan itu tumbuh begitu saja tanpa bisa kukendalikan, ia mengalir seperti aliran sungai yang tenang. Dan sekarang hanya dua pilihan yang kupunya, berhenti atau bertahan pada setitik harapan?

Kupikir, keduanya pun sama-sama menyakitkan.

"Rona, ayo kita sarapan bersama?" Dahayu melangkah menujuku. Tubuh eloknya bagaikan rembulan di tengah pencahayaan yang remang.

Aku menelan ludah. Aku menangkap sesuatu tersirat di balik ajakannya sarapan bersama. Namun, entah bagaimana cara kerjanya, kepalaku mengangguk. Seperti orang bodoh, aku menerima uluran tangannya dan bersisian menuju kantin sekolah.

**

Keadaan kantin cukup sepi hanya satu-dua orang yang juga sarapan. Ibu-ibu kantin pun belum selesai memasak menu jajanan hari ini, sebagiannya berberbenah menyiapkan kedai masing-masing.

Kami memilih sarapan di kedai kantin pertama, karena hanya kedai ini yang persiapannya sudah hampir seratus persen. Di sini juga nasi gorengnya cukup lezat dan lumayan mengenyangkan.

Di tengah nasi gorengku yang hampir tandas, Dahayu memulai percakapan. "Damar itu baik, ya ..."

Aku mengurungkan menyuap nasi yang dua sentimeter lagi dari mulutku, menatap gadis bermata bundar itu tanpa berkedip. Aku tidak mengerti, dari sekian juta manusia di dunia ini, kenapa Damar yang dipilih menjadi topik pembicaraannya denganku?

"Mungkin itu menjadi satu alasan kenapa banyak cewek yang menyukainya sejak SMP." Dahayu mendengus geli kemudian menyuap kembali sarapannya.

Sementara dia mengunyah, aku terdiam menahan napas.

"Sebenarnya jika ditelisik lagi, Damar itu bukan cowok famous apalagi cowok dingin yang sekarang lagi ramai-ramainya diperbincangkan. Anehnya, mereka yang menyukai Damar bahkan tak segan melakukan apa saja agar bisa mendapatkan hatinya. Bodohnya Damar, ia selalu cuek, tidak peduli. Aku berani bersumpah! Anak itu bahkan tidak mau menghidupkan ponsel hanya karena dirinya diteror terus-menerus oleh para fans-nya!"

Dahayu semangat sekali membicarakan Damar, tidak tahukah ia? aku salah satu dari 'banyak orang' yang menyukai cowok itu. Dan tentu saja aku tersindir.

"Damar itu teman yang ajaib. Di balik sikapnya yang cuek, dia berhati lembut bahkan mengalahkan sehelai sutra. Saat aku kesusahan, Damar selalu ada. Dia bahkan beberapa kali berjanji padaku akan selalu menjagaku dan menjadi pelindungku. Saat kutanya, 'memangnya kaumau menjadi bodyguardku?' dia menjawab, asal kau selamat, tidak masalah. Di sana awal pertemananku dengan Damar berlangsung hingga saat ini."

Aku kikuk saat Dahayu menjeda kalimatnya. "Apa dia menyukaimu Dahayu?" Dan akhirnya aku menanyakan hal yang tak mau kutanyakan.

Wahai Hati ... bersiaplah mendengar jawabannya.

"Aku juga sempat berpikir begitu, 'apa Damar menyukaiku?' Lihatlah, sebagai seorang teman, sikapnya padaku terlalu berlebihan. Rasa cemasnya saat aku pulang sekolah dengan luka di sekujur permukaan kulit, tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Sikap sigapnya saat segerombolan remaja menggodaku, membuatku tak berhenti terpesona terhadapnya. Kadang aku salah paham dengan semua caranya melindungiku, tapi kadang pula aku mengerti, Damar tak lebih menganggapku sebagai seorang teman .... "

Dahayu meregangkan jemari tangannya, raut mukanya berubah sendu.

"Aku ingat sekali awal perjumpaanku dengan Damar. Kala itu aku sedang dibully oleh geng cewek nakal di halaman parkiran SMP yang sudah sepi. Mereka tak segan menamparku bahkan mengguyurku dengan seember air comberan. Waktu itu aku hanya bisa menangis pun mengharapkan pertolongan siapa saja yang bersedia menolongku. Siapa yang menyangka? Do'aku itu terkabul! Jauh beberapa meter dariku, Damar yang di belakangnya sudah ada Para Guru serta sebagian warga bergegas menolong. Mereka menangkap Geng menyebalkan itu.

"Selepas semuanya selesai, Damar mengantarku ke rumah. Ajaib, ternyata kami satu komplek perumahan! Rumahnya hanya satu sampai dua langkah dari rumahku, yang berarti dia tetanggaku. Sejak saat itu, Damar tak pernah bolos berkunjung. Dia bahkan memaksaku selalu ada di sisinya, dia berjanji akan menjadi malaikat pelindungku.

"Tentu saja aku bahagia, sekarang aku merasa aman. Aku tak keberatan melepas masker penutup wajah yang sering kupakai saat masih SMP. Anugerah Keelokan wajah yang Tuhan berikan padaku itulah yang menjadi masalah dari segala masalah. Mereka cewek-cewek yang iri padaku yang melakukan pembullyan. Tapi sekarang aku sudah tidak takut lagi, karena aku punya Damar."

Jeda beberapa detik, kami mendiamkan masing-masing.

"Kalau begitu ... kamu yang menyukai Damar?" Aku menelan ludah selepas mengatakannya. Sungguh, bila jawabannya seperti apa yang kupikirkan, aku tidak tahu akan seperti apa nasib batinku ke depannya. Sudah kubilang sejak awal, 'kan? Aku tidak pantas bila harus bersaing dengan sang Nirmala.

"Ah, itu ... aku tidak tahu. Bisa iya, bisa juga tidak. Jangankan kamu, aku bahkan tidak mengerti dengan perasaanku sendiri." Dahayu terkekeh di ujung kalimatnya.

"Kalau begitu, apa tujuanmu membicarakan Damar denganku?"

"Anggap saja aku curhat padamu." Dahayu tersenyum penuh sarat menjawabnya.

Setelah itu pembicaraan kami pagi ini terinterupsi kehadiran Tiya, orang yang beberapa hari belakangan ini kuklaim sebagai 'Teman'. Dia duduk tanpa bilang-bilang di sampingku, menyeruput rakus segelas teh hangat yang dibelinya. Dasar teman terteladan sepanjang detikku bernapas.

***


Nirmala (KBBI) : Tanpa cacat, tanpa cela.

.
.
.
.
.

Ikon bintang ada di bawah jika kalian suka, mangga di klik;)

Dua Hati Satu (Rahasia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang