Tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding kehilangan rasa peduli dari seseorang yang paling berarti dalam hidupmu.
》》¤《《
Satu minggu sejak kejadian menyebalkan itu terjadi, tidak pernah lagi aku bercengkerama dengan Aryan. Bahkan sekadar menyapa atau membalas sapaannya. Katakanlah aku masih belum memaafkannya meskipun ia beberapa kali meminta maaf.
Sebenarnya, usaha Aryan untuk mendapatkan maaf dariku cukup keras. Seperti misalnya; ia tak pernah absen mengunjungi rumahku setiap hari sepulang sekolah--- tentu saja aku tidak pulang bersamanya. Saat Mama menyuruhku menemuinya, aku berkelakar, "Rona mau belajar, Ma, besok ada ulangan."
Hari-hari berlalu terpola seperti itu. Rupanya Aryan seorang tak pantang menyerah sekalipun mendapat banyak penolakan. Kadangkala itu membuatku kasihan padanya, tetapi mengingat perbuatannya seminggu yang lalu, membuat rasa benci di dadaku kembali terbentuk bahkan lebih keras daripada sebelumnya.
Malam itu mungkin kesabaran Aryan sudah berada di titik terluar saat dengan tanpa dosa, dan tanpa rasa takut, ia memanjat kamarku menggunakan sebuah tangga kayu yang jelas tidak sampai. Ketinggian lantai kamar dengan tanah sekitar 3 - 4 meter dan Aryan bagai pendaki hebat meniti tumpuan sempit hingga akhirnya tiba di balkon kamarku.
Jangan tanyakan seberapa terkejutnya aku!
"Gila, Yan?" Aku menutupi keterkejutanku dengan menatapnya datar.
"Mungkin besok akan lebih gila daripada ini, Ron." Aryan menyeka peluh.
Jika dalam keadaan normal, mungkin aku akan memberikannya segelas air putih setelah itu memukulnya sebanyak yang kumau.
"Aku tidak peduli, Yan ... aku tidak peduli lagi dengan semua tingkahmu."
Aku berbalik hendak pergi, tetapi Aryan menahan dengan mencekal erat pergelangan tanganku. "Satu hari, apa itu cukup untuk membuktikan bahwa bukan aku pelakunya?"
Dan hal yang paling aku benci adalah saat Aryan tidak mau mengakui kesalahannya. Apa susahnya mengangguk atas semua bukti yang tertuju padanya? Mungkin dengan itu, intensitas kemarahanku akan berkurang. Tapi yang terjadi sekarang, Aryan justru memperumit masalah ini.
Dulu ... ada seseorang yang sangat aku sukai. Hatinya begitu bersih berhias kejujuran yang elok melebihi ber-gram-gram emas dan ber-ton-ton berlian. Satu butir saja kesalahan diperbuatnya, tak segan ia mengakui. Setiap malam aku acap kali memikirkannya, berkhayal suatu saat aku akan selalu ada di sekitarnya, melangkah bersamanya. Lambat laun khayalan itu menjadi do'a tak berkesudahan hingga Tuhan mengabulkan, mungkin karena lelah terus mendengar keluh kesah.
Namun, kala itu, aku lupa meminta ingin menjadi apa aku di sampingnya? Bukan menjadi teman, keluarga, melainkan ... seseorang yang berarti di hidupnya, seseorang yang di masa depan mendampinginya dari terbit fajar sampai senja meninggalkan.
Dia adalah Aryan Aryasatya.
"Aku janji, Ron ... aku akan mendapatkan kembali kepercayaanmu. Beri aku waktu untuk membuktikannya. Jangan benci padaku."
Setelah mengatakannya, Aryan melepaskan cekalan. Kemudian, aku tak merasakan lagi keberadaannya, mungkin dia kesal tak kunjung mendapat respon lalu memutuskan pergi. Itu lebih baik daripada aku sendiri yang mengusirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Hati Satu (Rahasia)
Teen FictionTeruntuk dia di antara surat-surat mungil tak berbalas, bisakah aku merengkuh dengan sebenar-benarnya? Pun, teruntuk kamu yang telah sabar mencintai, maukah jatuh cinta sekali lagi? :: Rona tahu, memu...