17 | Lempar Api Sembunyi Tangan

171 20 0
                                    

Dalam melihat suatu kebenaran, tak cukup hanya dengan satu sudut pandang. Perhatikanlah seluas yang kau bisa, keruk dalam semua apa yang kau temukan. Maka, kamu akan bertemu banyak penyesalan dan kepercayaan yang runtuh begitu saja.

》¤《


Bau petricor menyengat, membuat siapa saja yang menciumnya terbuai oleh kenyamanan. Langit baru saja selesai menjatuhkan semua keluh kesah hingga yang tersisa di sana hanyalah segumpal bulan nan elok dipandang. Kelelawar mengepak sayap tak sabar mencari mangsa setelah lamanya menunggu hujan reda.

Tenang sekali malam ini, semilir angin yang menyelinap di sela-sela dedaunan menambah kesenyapan. Tetangga sekitar agaknya lebih memilih bergelung di balik selimut daripada berkeliaran di luar atau berdiam diri di balkon kamar seperti yang kulakukan. Seharusnya, batinku turut merasakan kenyamanan bukan buncah dan kekesalan tiada tara. Setelah sepanjang sore tertawa bersama Damar, kini layaknya papan jungkit, yang tadinya duduk jumawa di atas mendadak teman bermain pergi membuat kita jatuh berdebum tanpa aba-aba. Aku tahu, naif sekali sikapku selama ini?

Nasihat lama itu benar sekali, Dalam melihat suatu kebenaran tak cukup dengan satu sudut pandang. Aku mengembuskan napas lelah.

"Bolehkah aku meminta kepercayaanmu lagi, Rona?" Aryan menatapku dalam, aku balas menganggukan kepala seraya tersenyum tipis.

Cukup sudah drama ini, cukup sudah kebencian keliruku pada Aryan, cukup sudah kesalahpahaman. Beberapa menit lalu, Aryan datang membawa benda seukuran jempol tangan yang ternyata flashdisk--- memintaku membuka data di dalamnya. Di sana terdapat sebuah file yang diberi nama Investigation. Aku berpaling pada Aryan, ia mengangguk tak sabar memintaku segera membukanya. File tersebut terdiri dari dua sub file, yang pertama tertera tulisan kapital CCTV dan yang kedua ... Astaga!

"Kau mencurigai Tiya?" pungkasku, tak habis pikir. Mana mungkin Tiya tersangkanya sementara dia-lah seseorang yang berusaha keras mendekatkanku dengan Damar. Jika Tiya memang pelakunya, sudah sejak awal ia lakukan bahkan jauh sebelum Aryan tahu bahwa aku menyukai Damar. Lagipula Aryan tidak bisa menjawab apa motif Tiya.

Aku menolak mentah-mentah membukanya, Aryan terus membujukku.

"Mungkin karena tiya juga menyukai Damar, masuk akal, 'kan, Ron?!" seloroh Aryan berusaha keras mempertahankan asumsinya.

Aku menggeleng tegas. Bagaimana mungkin Tiya menyukai Damar, tetapi dia justru membantuku semakin dekat dengannya?! Aku sudah berada di ujung batas kesabaran ketika sesuatu terlintas di kepalaku. Bergegas mengambil ransel, mengeluarkan buku diary mungil dari sana. Aryan entah sejak kapan sudah bersila di sampingku.

Aryan Aryasatya.

"Heh! Itu namaku? Kenapa namaku bisa ada di sana?!"

Aku sudah menduga itu respon Aryan, tetapi aku memilih bungkam. Aku sendiri tidak tahu kenapa Tiya menulis tentangnya.

Teruntuk, Aryan Aryasatya ....
Aku bersumpah ini kali pertama aku merasakannya! Tanganku bergetar, pipiku memanas, bicaraku terbata ... apa yang terjadi padaku sebenarnya?

Kami menahan napas.

Teruntuk, Aryan Aryasatya ....
Sebelumnya aku berpikir, hanya senja yang membuatku tertawan. Matahari yang menyilaukan pandang. Pun, bulan begitu elok hingga menjeda hela napas saat menatapnya. Ternyata, ada yang lebih kuasa dari ketiganya, ... kamu, yang menarik begitu banyak emosi dalam diriku.

S

ejurus, aku terpana di kalimat kedua. Indah sekali tulisan Tiya---tidak secara harfiah, melainkan perumpamaannya yang amat menarik hati.

Dua Hati Satu (Rahasia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang