Mungkin inilah akhirnya, ketika aku menyerah, ketika kubiarkan patah itu semakin merambat hingga tak kuat lagi aku membebat. Memang sudah takdirnya, aku bisa apa?Perasaan yang tak kunjung didengar, memang separah itu sakitnya*
Krw, 28 Januari 2020
》》¤《《
Pikiranku terus berlabuh pada Aryan sejak kemarin sore. Jelas sekali tingkahku tidak adil buatnya, dia sudah menungguku sejak pagi dan aku malah enak pulang bersama Damar tanpa kehujanan. Sungguh, semua teman jika dibegitukan, pasti marah atau minimalnya kecewa.
Maka hari ini, kuputuskan untuk menemui Aryan. Aku akan meminta maaf kepadanya sambil berjalan-jalan menggunakan sepeda. Ya, itung-itung olahraga, lagipula aku tak ingat kapan terakhir kali aku bersepeda.
Papa tersenyum jumawa setelah sekian menit berhasil mengeluarkan kendaraan tanpa mesin dari gudang di halaman belakang rumahku. Beruntungnya, sepedaku hanya kotor oleh debu tanpa terdapat kerusakan sedikit pun. Jadi, aku hanya perlu sedikit membersihkannya.
Aku tidak sabar lagi ingin segera bersepeda!
"Mau Papa bantu bersihkan, Ron?" Papa bertanya sambil menyeka peluh.
"Tidak perlu, Pa, biar Rona yang bersihkan sendiri. Papa istirahat saja." Aku tersenyum tulus. Sudi mengeluarkan sepeda yang teronggok satu tahun lebih di dalam gudang saja, sudah lebih dari cukup kok Pa bantuannya!
"Anak pintar ... " Papa menepuk puncak kepalaku. "Spons-nya ada di dalam gudang, tinggal kamu pilih saja mau yang mana. Semuanya masih baru-baru, lho!"
"Kalo masih baru kenapa disimpan di gudang Pa?" Aku menatap heran.
"Tadinya mau Papa jadikan barang antik." Papa mengedipkan sebelah matanya, kemudian melenggang. Aku menyengir, terkesima dengan guyonan papa yang kadang lucu.
Aku sudah tak sabar ingin segera berjalan-jalan dengan Aryan, hingga tak terasa cepat sekali aku membersihkan sepeda.
Sebelum sempat aku menggoes sepeda di jalan, kemunculan wajah ceria Tiya di depan pagar mengagetkan. Dia mengenakan pakaian santai khas musim panas, padahal sekarang sedang musim hujan. Di punggungnya tersampir tas kecil berbentuk karakter Doraemon yang menggemaskan.
"Kau tidak bilang mau main ke rumah?"
"Gak apa-apa biar surpris!" Tiya menyengir, aku balas menyengir. Rupanya dia tak sadar ada yang keliru dari salah satu kata yang diucapkannya.
"Kamu mau ikut tidak?" Aku menuntun sepeda hingga ke pinggir jalan.
"Kemana?"
"Bersepeda bersama Aryan."
"Boleh," Tiya melepas helm di kepalanya, kemudian menatapku, "terus nanti aku pakai motor sementara kau dan Aryan menggoes sepeda?" sarkas Tiya
"Kubonceng kamu, Ti. Sana, segera simpan motormu di halaman rumahku!"
**
Aku tidak menduga memboncengi Tiya akan semengerikan ini. Beberapa kali aku hampir kehilangan keseimbangan, entah ini karena bobot badan Tiya atau aku yang baru kembali bersepeda setelah setahun lebih. Beruntungnya, rumah Aryan tak jauh dari rumahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Hati Satu (Rahasia)
Teen FictionTeruntuk dia di antara surat-surat mungil tak berbalas, bisakah aku merengkuh dengan sebenar-benarnya? Pun, teruntuk kamu yang telah sabar mencintai, maukah jatuh cinta sekali lagi? :: Rona tahu, memu...