Masih ingat adegan di prolog?
🌻
"Aku siap membacanya!" seruku, menatap manik teduh lelaki yang kini menjabat sebagai suami setelah ijab kabul satu minggu yang lalu.
Mengingatnya, membuat gelenyar panas kembali merambati pipi. Ah, susah sekali melupakan bagaimana dia beberapa kali salah mengucap namaku. Saking gugupnya mungkin atau merasa segan lantaran kita bertemu lagi setelah sekian tahun dirinya mangkat ke negeri orang untuk melanjutkan study. Lalu, pulang untuk meminang.
Sesederhana itu, tetapi sekali pun aku tak mampu membuang jauh efeknya.
Lelaki itu memintaku bergeser sedikit di kursi berbahan kayu jati ini, kemudian begitu ringan dia mendudukan bokongnya di sebelahku. Tak tahu saja, jantungku serupa kuda yang dipacu cepat oleh si kusirnya.
"Kamu, tuh, kan bisa ambil kursi lagi, Yan!" protesku, memberengut sebal. Bukan hanya membuat jantungku berdebar, tetapi dia juga membuat setengah pantatku lolos dari permukaan kursi. Menyebabkan pegal.
Aryan malah cengengesan sembari menangkup kedua pipiku. "Maunya kayak gini, Sayang," katanya, menaikturunkan alis.
Inginnya aku pura-pura tidak mendengar saja kalimat itu, tetapi agaknya rona kemerahan di wajah tak bisa dicurangi. Alih-alih berekspresi sebiasa mungkin, aku malah terlihat seperti anak yang terciduk ibunya tengah mengambil uang di kaleng dagangan.
Tak ambil pusing---masih dengan muka bersemu---berpaling aku pada surat-surat mungil yang berserak di meja. Bibirku menyungging senyum membayangkan sosok itu. Namun, tentu dengan perasaan yang tak sama lagi. Kendati jantungku masih saja berdebar saat menyentuhnya.
Aryan memerhatikan tanganku yang bergerak membuka amplop merah berbahan kertas origami. Kemudian saat robekan lurus di amplop itu lebih dari cukup memberi ruang untuk selebaran di dalamnya terlihat seluruhnya, aku menahan napas. Kulirik Aryan melalui sudut mata, takut akan responnya.
Namun, yang kudapati Aryan tersenyum. Tak ada terkaan negatif-ku pada ekspresinya. Tak ada saat dia memilih menyungging bibir begitu ringan, begitu tulus, pun pandangan yang amat menyejukkan.
"Aku tidak apa-apa, Rona. Tidak masalah. Asalkan namaku tetap menetap di sini," Aryan menunjuk dadaku, "itu tidak ada masalah sama sekali."
Oh, bisakah kita mempercepat adegan ini? Lelah sekali aku memberitahu kalian bagaimana aku tersipu-sipu bersama kedua pipi yang memerah alami.
Segera saja aku berpaling pandang dan membaca lembar surat yang telah menguning ini.
>>[|]<<
MERAH {warna pertama penyusun pelangi}
Bogor, 21 April 2020Halo kamu yang membaca surat ini, salam jumpa dariku. Perbolehkan aku berkisah, perihal kamu di antara renjana tak kasat mata yang menaungi titik terlemah duniaku.
Kamu tampak di balik kaca tempat singgahnya ilmu pengetahuan: Perpustakaan. Wajahmu berpeluh-peluh pun sarat keluh kala itu, menunggu teman cowokmu yang sedang memperbaiki rantai.
Aku terpikat, aku terperangkap. Pada sesosok gadis kuning langsat, ingin sekali kujerat. Namun, waktu begitu singkat hingga tak ada sempat untukku melangkah lebih dekat. Dan aku tahu, aku telah terlambat menggapaimu. Hingga perjumpaan sepihak itu terlupakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Hati Satu (Rahasia)
Teen FictionTeruntuk dia di antara surat-surat mungil tak berbalas, bisakah aku merengkuh dengan sebenar-benarnya? Pun, teruntuk kamu yang telah sabar mencintai, maukah jatuh cinta sekali lagi? :: Rona tahu, memu...