13 | Retak Cermin karena Satu Kerikil

141 20 2
                                    

Teruslah mengembara hingga kautemu pelipur lara. Biarkan aku di sini menerima kenyataan bahwa kau sudah memiliki pujaan hati. Pun, saat kauterlena dalam jatuh cintamu, aku takkan menampik rasa pedihnya, kan kurengkuh ia sekalipun ragaku mungkin saja tak terbentuk lagi.

》》¤《《

Tempias hujan menyembur hingga ke dalam kelas dari sela-sela jendela yang terbuka. Kilat tak henti menyala mengawali bunyi guntur yang tak terkira besarnya. Hari ini kami kembali bersekolah setelah dua minggu libur semester satu. Meskipun hujan deras yang pertama kali menyambut, tidak serta-merta kadar semangat menjalankan kembali aktivitas sebagai pelajar kami turun. Malah ini menyenangkan!

Aku bisa bertemu lagi dengan teman-teman, termasuk Tiya. Semenjak malam itu, Tiya tak pernah datang lagi ke rumahku, padahal dia berjanji akan membicarakan sesuatu itu keesokan harinya, tetapi setelah menunggu lama, dia membatalkannya dengan alasan ada kesibukan. Lusa-nya lagi, setelah berhari-hari kami tak berkabar, aku meneleponnya menggunakan telepon rumah. Saat kutanya kapan ia main lagi ke rumahku, alasannya tetap sama--- ada kesibukan.

Aku berpikir, mungkin masalah Tiya tidak sesederhana yang kukira. Itu kenapa ia tidak jadi membicarakannya denganku karena merasa percuma. Aku juga tidak akan bisa menemukan solusinya jika itu menyangkut keluarga atau yang lebih kompleks daripada kehilangan pulpen beberapa kali, misalnya?

"Kamu sudah berangkat sendiri, belum sarapan, bekal lupa dibawa ... sungguh, dua jempol untukmu, Ron!" Aryan berseru ketus lantas menyodorkan bekal makanan yang lupa aku bawa. Dengan masam, ia menaruh tas di kursinya. Aku hanya menyengir.

Terlepas dari kekhawatiranku pada Tiya malam itu, aku bersyukur hubunganku dengan Aryan masih baik-baik saja hingga kini. Ketika itu, saat kulihat punggung Aryan hilang ditelan gerbang rumah, aku memikirkan banyak hal. Tentang masa depan persahabatan kami, tentang hubungan kami yang akan merenggang jika menguatkan ego masing-masing. Urusan ini sebenarnya rumit sekali, tetapi aku tidak mau hanya berpaku tangan pada nasib dan waktu. Kala itu aku memutuskan untuk mengejarnya, walau dengan basah kuyup, rambut yang luar biasa kusut, aku berteriak histeris di depan rumahnya.

"Kamu tidak waras! Kamu bisa sakit berlari di tengah hujan deras! Pakaianmu juga belum ganti. Kau mau sakit, Rona!" Aryan tergopoh menghampiriku, tangannya cekatan menyibak payung kemudian segera menamengiku dari hujaman air langit.

"Kaupikir apa yang lebih penting dari jaminan hubungan kita ke depannya! Apa akan baik-baik saja atau tidak!"

Aryan memerah melihatku menangis, walau air mataku menyatu dengan sisa air hujan di wajah, tetap saja ia menyadarinya.

"Yan ... apakah persahabatan saja tidak cukup? Sejak dulu kita selalu berbagi perasaan, kita saling menggenggam. Aku menyayangimu, kamu menyayangiku, seperti itulah kita dalam persahabatan. Tidak ada bedanya dengan sepasang kekasih, bukan?

"Aryan ... sungguh, aku ingin kita dalam persahabatan, tak lebih tak kurang. Cukup itu saja, aku amat bahagia." Aku terisak kuat hingga kakiku tak mampu lagi menyangga raga, beruntungnya Aryan memeluku, menahanku terus berdiri.

Malam itu, Aryan membisikan kalimat yang tak akan pernah aku lupakan sepanjang hidupku.

***

"Oi! Jangan melamun pagi-pagi begini, kalo kerasukan kita yang repot nantinya." Aku tersentak saat teman sekelasku--- Tasana yang sering dipanggil Ippo atau Idoy dalam alasan tertentu, menepuk bahu.

Aryan sudah duduk manis sambil membaca-baca buku pelajaran di kursinya. Bel masuk sudah berdentang beberapa menit lalu, keadaan kelas mulai bising didukung belum datangnya guru mata pelajaran yang mengisi KBM pagi ini.

Dua Hati Satu (Rahasia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang