05 | Berteman dengan Sang Nirmala

204 41 7
                                    

Tidak ada yang salah dengan Jatuh cinta, pun tidak ada yang menjunjung tingginya. Hanya saja kadang kita lupa untuk setiap rasa yang kita berikan pada seseorang, selalu berlebih-lebihan. Itulah yang salah.

》》¤《《

Aku semakin tidak mengerti dibuatnya, sekali-dua Dahayu bersikap ganjil belakangan ini. Beberapa kali dia tersenyum padaku, lantas mengajakku mengobrol, dan kalian tahu? Lagi-lagi Damar menjadi topik obrolan kami. Dia juga sempat menawariku pulang bersama, lebih tepatnya ia bersedia mengantarku pulang ke rumah. Namun, demi melihat Aryan yang tampaknya masih kesal karena beberapa hari ini aku sering berangkat sekolah duluan tanpa mengabarinya, aku menolak ajakan Dahayu.

Bukankah itu aneh? Maksudku bukan kebaikan Dahayu yang bersedia mengantarku pulang, melainkan aku sedikit curiga dengan sikapnya padaku yang tiba-tiba. Pernah aku bertanya padanya, "Gelagatmu padaku aneh sekali belakangan ini, apa tujuanmu Dahayu?"

Dengan senyum simpul dia menjawab, "Aku ingin menjadi temanmu, Rona. Sepertinya menyenangkan sekali memiliki teman sepertimu."

Dan sekarang seperti apa yang kalian tangkap dari percakapan di atas, Aku dan Dahayu resmi berteman. Bagaimana mungkin aku menolaknya? Dia sungguh teman yang baik, meskipun aku tahu berteman dengannya sama saja aku membiarkan hatiku patah setiap saat.

Dari setiap saat itulah tak terhitung berapa kali Damar dan Dahayu bercengkrama di depanku. Beruntungnya aku cukup hebat menyembunyikan perasaan ngilu acapkali mereka bertemu.

Seperti siang ini saat aku, Dahayu, dan Tiya baru saja akan ke kantin, Damar mencegat kami. Dia kembali memberikan sepucuk surat pada Dahayu, kali ini surat itu beramplop jingga.

Mereka romantis sekali bukan? Meskipun rumah mereka dekat dan selalu ada detik-detik untuk bersama, mereka berkabar dengan sepucuk surat. Aku hanya bisa merunduk, meradang, diam membisu seperti angin lalu. Melihat mereka saling lempar senyum terbaiknya, bagaikan ditusuk ribuan jarum pentul, ratusan pisau tumpul. Sungguh, rasa sakitnya tak terkira sedalam apa, lukanya tak terukur selebar apa.

Akhirnya aku memutuskan untuk melenggang duluan, saat Dahayu bertanya kujawab, "Aku tak tahan lagi ... maksudku, aku lapar."

Rasanya aku seperti menegak segelas kepahitan hingga tenggorokanku meradang. Seperti inikah jatuh cinta? Sungguh, sepanjang hidupku baru kali ini aku merasakannya. Kupikir Jatuh cinta pertamaku akan menyenangkan hingga menjadi sebuah kenangan yang sukar dilupa.

Kantin terlihat ramai dari jarak tujuh meter, tetapi langkahku berbelok menaiki anak tangga menuju lantai paling atas. Pihak sekolah mensulap rooftop sebagai tempat bersantai murid-murid, mereka membuat kebun buatan yang di rekayasa sedemikian rupa dengan bantuan para guru yang ahli di bidangnya. Hingga bulan kemarin pun, kebun itu kembali panen untuk yang ke sekian kali.

Tiba di sana, aku mendapati Aryan di antara lalu-lalang beberapa murid. Pandangannya menatap lurus, sementara cengkramannya di pagar besi pembatas begitu erat hingga memperlihatkan urat-urat yang berkelok membingungkan. Aku mengerut, sedang apa dia di sini? Bukankah habitat keduanya setelah ruang kelas adalah perpustakaan? Menarik sekali, siswa terpintar yang selalu menuai pujian guru-guru, sudi meluangkan waktu istirahatnya di sini. Ke kantin pun, hanya hitungan jari.

Aku mendekatinya. Dari jarak sedekat ini, aku bisa menangkap kegundahan di raut wajahnya. Dia masih tidak menyadari ada 'seseorang' yang sedang memperhatikannya, bahkan sedari tadi Aryan berkali-kali menghela napas dan berdecak lidah.

"Hai, Yan!" sapaku akhirnya

"Rona! S-Sejak kapan k-kamu di situ?"

Perasaanku saja atau memang iya, Aryan terlihat gugup sekali. "Eh, sejak tadi!"

Aryan mengusap rambutnya gelisah, wajahnya masih memantulkan kegundahan yang entah karena apa. Aneh sekali, tak biasanya Aryan seperti itu.

"Sedang apa kamu di sini, Ron?"

"Eh, sedang melihat-lihat saja. Udaranya segar ...."

"Atau kamu sedang patah hati?"

Eh? Ada apa dengan Aryan? Apa maksud dari perkataannya?

"Kamu tahu sekali, bukan? Sejak dulu aku jago menafsirkan keadaan seseorang dari raut wajahnya. Entah dari mana bakat tersebut, yang jelas aku jago." Dia berkata santai

"Sombong amat!" Aku berpaling wajah, takut jika 'bakat' Aryan kembali membacaku.

"Tapi kamu tak pernah bisa menafsirkanku, sejak dulu ... tak pernah sekali pun kamu menafsirkanku."

Sementara Aryan melempar senyum yang terasa ganjil, aku menegak ludah. Sungguh, ada apa dengan teman terbaikku ini? Apakah aku telah berbuat kesalahan padanya tanpa kusadari? Tapi pagi tadi, kita bahkan tertawa bersama di perjalanan menuju sekolah.

"Karena kamu tidak punya bakat itu, hahaha!"

Detik berikutnya aku memukul habis-habisan Aryan sekuat tenaga. Enak saja dia bisa mempermainkan kinerja jantungku berkali-kali lipat!

**

Pelajaran ketiga setelah istirahat pertama adalah Matematika. Aku dan Aryan bergegas kembali ke kelas secepatnya atau kami akan terlambat. Tiba di kelas, Tiya dengan muka sebalnya menyemprotku dengan pertanyaan, "Dari mana saja kamu! Aku sama Dahayu mencari kamu di kantin tahu! Eh, tahunya kamu malah pacaran entah di mana."

Aku menyeringai, tadi dia bilang apa? Aku sedang pacaran! Oh ayolah, aku sudah berkali-kali bilang padanya bahwa aku dan Aryan adalah sahabat baik. Kenapa dia tidak mau mengerti.

"Kamu dari mana saja tadi?"

Walaupun dengan tampang sebal kentara, aku menangkap kecemasan dari suaranya.

"Aku di rooftop bersama Aryan." Aku menjawab sekenanya. Padahal pertemuanku dengan Aryan sungguh tak disengaja.

Bu Firda guru matematikaku berjalan anggun ke dalam kelas. Suasana yang tadinya ricuh mendadak senyap. Aku tahu, kharisma Bu Firda yang begitu kuat selalu membuat atmosfer di sekitarnya berubah kelam, mendebarkan, seakan-akan kita ada di sebuah ruangan penuh misteri.

Wanita berparas sempurna itu menyuruh kami membuka buku paket dan memulai kegiatan belajar mengajar. Satu jam kami sudah tenggelam dalam rumus-rumus trigonometri dan contoh soalnya.

Aku meregangkan tangan kelelahan, Tiya di sebelahku menyikut.

"Aku tahu rahasiamu, loh!" Tiya berbisik, aku melotot padanya. Rahasia yang mana? Maksudku, rahasia apa?

"Rahasia yang itu."

Aku terdiam, setidaknya itu responku sejak tadi. Pun saat Tiya mengatakan rahasia yang diketahuinya, aku masih diam sebagai respon. Hei! Aku sungguh tak menyangka Tiya akan mengetahuinya. Selama ini kupikir dia tipe orang yang 'bodo amat' pada tingkah laku orang lain, tetapi aku salah besar!

***


Pencet bintang jikalau kalian sukakk, gak berbayar kok:)

Dua Hati Satu (Rahasia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang