Jangan membuatku salah paham pada setiap kebetulan dan kesengajaan. Jangan buat aku kembali terjatuh, pada sebuah angan dalam keabadian.
》¤《
Pagi ini kami kembali dipertemukan pelajaran Matematika. Dari awal kedatangannya, Bu Firda menagih tugas yang diberikannya seminggu lalu. Maka, ramailah ruangan kelas oleh decitan meja yang digeser dan gumaman panik. Beruntungnya aku sudah mengerjakan---tidak seperti mereka, aku justru panik karena sebab lain.Sejak tadi aku bergerak tak nyaman di kursi, sesekali melototi jarum jam yang tak kunjung menunjuk angka sepuluh kemudian berpaling ke luar kelas. Sebenarnya perasaan ini sudah sejak malam menggelayutiku, perasaan gugup dan cemas. Perkataan mama malam itu membuatku tersadar akan kesalahan pada Damar ... hari ini, aku berencana meminta maaf padanya.
Barangkali itulah yang membuat Tiya kini menatapku penuh selidik. "Kau kenapa sih? Kebelet pipis?"
"Tidak ada." Aku menyengir.
"Serius, Ron? Kalau mau pipis jangan di tahan. Kamu ingat kata pak syahdan kemarin, Seseorang yang menahan buang air kecil sampai berjam-jam akan membuat tubuhnya menyerap kembali air kencingnya sendiri, sedangkan kita tahu urine mengandung racun yang harus dikeluarkan dari tubuh, itu jelas berbahaya!" Tiya meniru gaya berbicara Pak Syahdan membuatku sedikit tergelak.
"Tidaklah, Ti. Aku sudah pipis sejam lalu tahu!"
"Yasudahlah terserah kamu. Sini mana buku matematikamu?! Sekalian aku kumpulkan!"
Aku menyodorkan benda pipih berjilid cokelat tua kepadanya sambil tersenyum semringah. "Terimakasih!"
Tiya mengangguk kemudian segera berlalu. Ada sedikit antrean di meja Bu Firda yang mengharuskannya bersabar menunggu giliran tugas kami dikoreksi. Sementara menunggu, aku menjatuhkan kepala ke meja. Selintas aku terdiam kala melihat buku diary Tiya yang terbuka menampilkan sebuah karangan. Entah bagaimana, tanganku sudah meraih buku mungil tersebut dan memasukannya ke dalam ransel.
Aku tidak tahu apa yang memotivasiku, tetapi judul yang tertera di sana sedikit-banyak mencuri perhatianku.
Teruntuk, Aryan Aryasatya.
"Kita dapat seratus!" seru Tiya tiba-tiba, beruntungnya aku bisa mengendalikan ekspresi. Aku meliriknya dengan sudut mata, semoga saja dia tak menyadari sesuatu.
**
Di sepanjang koridor gedung IPS, aku melangkah cepat. Satu-dua murid yang berpapasan denganku saling berbisik, tetapi tak kuhiraukan sedikit pun. Aku tahu memilih jam istirahat untuk bertamu ke kelas Damar adalah pilihan yang keliru, tetapi masih aku laksanakan. Lagipula, aku hanya ingin meminta maaf padanya setelah itu kembali ke kelas.
Pada akhirnya, rencanaku itu tak semudah yang dipikirkan.
Langkahku berhenti di depan pintu ber-plang X IS 5. Bersama rasa gugup yang semakin membuat sesak di dada, semakin banyak pula murid-murid yang tidak kukenal berbisik ria---ya, apalagi kalau bukan sedang menggosipkan.
Bukankah aku pernah bilang, aku sudah kebal? Namun, tetap saja hal itu selalu menyebalkan. Berusaha tak hirau, aku mengetuk pintu yang sebenarnya sudah terbuka lebar. Tak lama salah seorang murid menghampiriku. Tangan kanannya sibuk memegang ponsel yang diarahkan padaku, sementara tangan kirinya sigap menyetor potongan roti apabila rongga mulutnya kehabisan stok.
"Hai, Gaes! Bertemu lagi dengan aku---Princess Arista, mojangnya SMA 2! Aku ada berita aktual, tajam, terpercaya nih!" Cewek bermata bundar itu sekarang sibuk menyorot wajahku dengan kamera depannya. "Ini Rona yang kemaren bikin geger SMA 2 gara-gara nembak damar! Sekarang dia ke kelas aku, guys, kayaknya mau ketemu damar, deh! Ayo gaes tonton terus, ya, jangan pergi dulu pasti seru, nih!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Hati Satu (Rahasia)
Teen FictionTeruntuk dia di antara surat-surat mungil tak berbalas, bisakah aku merengkuh dengan sebenar-benarnya? Pun, teruntuk kamu yang telah sabar mencintai, maukah jatuh cinta sekali lagi? :: Rona tahu, memu...