06 | Mrs. Tiya

177 39 12
                                    

Bolehkah aku jatuh cinta padamu dengan secuil harapan dan sedikit keberanian? Masalah patah hati, biarlah kutanggung sendiri.

》》¤《《


"Hahaha! Kamu pikir aku sebodoh itu sampai tak menyadarinya!"

Tawa Tiya memecah keheningan kafe, aku menepuk dahi. Setelah pusing memikirkan kemungkinan kenapa Tiya mengetahui 'rahasia' itu, selepas pulang sekolah aku mengajaknya mampir di kafetaria dekat sekolahku. Tadinya aku bermaksud mau mengintogerasi Tiya perihal rahasia tersebut secepatnya, tetapi kendala kecil membuatku kelimpungan.

Beberapa menit lalu tanpa aku prediksi, Dahayu dan Damar juga mengunjingi kafe ini. Mereka sempat berpapasan denganku, aku hanya tersenyum kaku dan menjawab pertanyaan Dahayu sekenanya. Kemudian kejadian memalukan itu terjadi, entah bagaimana cara kerjanya kaki-ku tersandung saat akan ke kamar kecil. Dan entah bagaimana pula cara kerjanya, aku jatuh tersungkur tepat di bawah kaki Damar.

Sungguh, aku ingin sekali tiba-tiba menghilang atau mendadak ada badai besar yang menerjang kafe ini ketika Damar membantuku berdiri dan menepuk kedua lututku.

Mama, Aryan, Papa ... aku mau pulang!

"Kakimu sakit?"

Bagaimana bisa aku menjawab sementara jantungku berdampung-dampung hebat. Kurasakan keringat mengalir di pelipisku, padahal cuaca hari ini sedang mendung.

Begitulah, setelah akhirnya Tiya membantuku berbicara bilang bahwa aku baik-baik saja, Damar dan Dahayu melenggang dari kafe. Ternyata mereka hanya memesan satu porsi spagetty untuk dibawa pulang.

Tiya baru menghentikan tawanya setelah sekian lama mengolok-olokku. "Kamu tanya kenapa aku bisa mengetahui rahasiamu, Ron?" Dia masih belum puas meledek.

"Tentu saja aku tahu! Gampang sekali mengetahuinya Ron!"

Aku gelagapan, Tiya saja tahu segampang itu rahasiaku, bagaimana yang lainnya. Maksudku, bagaimana dengan Dahayu, Aryan, bahkan Damar? Apakah mereka juga mengetahuinya?

"Tapi bagaimana bisa?"

"Belakangan ini aku sering memperhatikan gelagatmu saat kita sedang bersama Dahayu dan Damar. Saat mereka bergurau, entah kenapa kamu selalu terlihat muram! Wajahmu itu ... lelah, tanpa daya, lesu, galau--"

"Kenapa kamu bisa menyimpulkan seenak jidat?!" Aku berseru memotong kalimat Tiya yang terus memojokan.

"Karena itu faktanya bukan? Kau menyukai Damar! Iyakan! Ngaku sajalah, Ron, percuma kamu bohong. Aku sangat yakin dengan kesimpulanku, tau!"

"Kamu memang calon detektif hebat yang sangat, begitu, sungguh, M-E-N-Y-E-B-A-L-K-A-N!"

Aku berseru ketus, Tiya tergelak hebat. Sepertinya mulai saat ini aku tidak boleh lagi menganggap gadis ini remeh, kemampuannya mencari tahu sesuatu tidak bisa diragukan lagi.

Setelah berunding lama akhirnya kami menyepakati dua hal. Satu, Tiya berjanji tidak akan membocorkan 'rahasia' itu pada siapa pun. Dua, Aku--dengan terpaksa menyetujui usulannya yang ingin menjadi detektif pribadiku. Apalagi kalau bukan untuk mencari fakta-fakta menarik tentang Damar.

Kami berpamitan di depan kafetaria. Cuaca sore ini cukup mendung dipadu angin yang bertiup menyegarkan. Kuharap sampai aku tiba di rumah, langit tetap seperti ini. Bisa repot urusannya kalau aku sampai kehujanan di tengah jalan.

"Hai, Ron!"

Aku terjengit kaget. Aryan memasang wajah terbaiknya di atas sepeda tua yang menjadi kendaraan kami selama ini.

"Kamu belum pulang?!"

Aryan mengacak rambutnya, air mukanya terlihat kebingungan.

"Eh, ... aku tadi ada pesanan, eh, ... maksudku ibu nitip ayam geprek!"

Aryan menepikan sepedanya, lantas memintaku untuk menemaninya membeli ayam geprek pesanan ibu. Meskipun aku masih tidak mengerti, Aryan tetap menarik tanganku kembali masuk ke dalam kafe. Tak tahukah ia? Aku lelah sekali, ingin segera pulang!

**

Aryan berbohong. Setelah kami sampai di rumah, ibu Aryan memarahi kami, ya, ... meskipun kupikir Aryan yang lebih banyak menjadi sasaran kemarahannya.

Ibu Aryan marah karena kami pulang terlambat. Aku sih sudah meminta izin terlebih dahulu ke mama bahwa aku akan pulang telat, tetapi Aryan, yang mengaku ketitipan pesan dari ibunya, mendapatkan akibatnya. Aku melotot ketika tahu Aryan telah berbohong, kemudian melenggang pergi setelah meminta maaf dan berpamitan kepada ibu Aryan.

Aku hanya perlu menyebrang dan melewati satu rumah untuk sampai di rumahku. Mama sedang mengangkat kain jemuran ketika aku sampai, aku bergegas membantunya.

"Baru pulang, Sayang?"

Mama mengibaskan kain jemuran, aku melakukan hal yang sama.

"Iya, Ma." Aku menyengir kuda. Untunglah aku sebelumnya sudah meminta izin, jika belum, seratus persen nasibku akan sama seperti Aryan.

***

Malamnya Aryan menemuiku, dia meminta maaf karena telah berbohong. Syukurlah dia tahu kesalahannya.

"Ok, aku maafkan. Tapi jika sekali lagi kamu membohongiku, awas saja!"

Aryan menjawil telinganya dengan muka memelas, kebiasaannya sejak SMP saat berjanji padaku. Aku jahil memencet hidung mancungnya dengan gemas. Salah sendiri kenapa dia membuatku gregetan dengan tampang babyface-nya.

"Curang! Awas kau!"

Kami berlarian di halaman depan rumah. Saat Aryan berhasil menangkapku, aku menyikut keras perutnya kemudian kembali berlari. Kami tertawa riang, momen seperti ini kapan lagi akan terjadi? Momen hebat yang selalu berakhir dengan turun hujan dan kami bermain hujan-hujanan. Kesibukan sekolah agaknya merubah banyak hal di hidupku juga Aryan.

Kami baru berhenti ketika mamaku dan ibu Aryan berteriak menyuruh berteduh. Aku dan Aryan tertawa menanggapi kebodohan kami.

***

Tekan bintang jika berkenan yupp:)

Dua Hati Satu (Rahasia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang