Jangan mengukir terlalu panjang untuk angan. Jangan mengukir terlalu pendek untuk harapan.
》》¤《《
Semenjak peristiwa beberapa hari itu, aku jadi terus memikirkan Damar. Saat sedang makan pun aku melihat pantulan wajahnya di sendokku. Bukan hanya itu, lebih parah lagi aku melihat bayangannya di kamar mandi saat aku sudah dalam keadaan bugil. Saat aku melempar kepalanya menggunakan gayung, bayangan itu hilang dan berakhirlah gayungku pecah karena benturan yang sangat keras. Mama memarahi kecerobohanku.
Di hari-hari berikutnya pun sama, kepalaku tak pernah berhenti memikirkan Damar. Pernah satu kali aku kena tegur Bu Rega sewaktu melamun di jam pelajarannya, beruntung Bu Rega hanya menyuruhku membilas muka supaya kembali fokus.
Aku juga tidak tahu, sungguh. Apa yang membuatku jadi seperti ini?
Dari novel-novel fiksi yang telah aku baca, gejala yang ku-alami persis seperti tokoh utama. Ketika jantung berdegup, pupil mata membesar dan keringat menjalar saat berpapasan dengan orang yang disukai si tokoh utama. Aku jadi beramsumsi, jangan-jangan aku sedang jatuh cinta?
Namun, pada siapa? Damar? Aku bahkan belum mengenal dia secara pribadi. Kalaupun iya, kejadian beberapa hari lalu di kantin apa cukup menjadi alasan kenapa aku jatuh cinta padanya?
Ah ... benar kata Agnes Mo, jatuh cinta memang tak ada logika.
"Melamun lagi ... apa sih yang sedang kamu pikirkan?"
Aku tersentak ketika Aryan menepuk bahuku. Tidak keras sih, tapi itu lebih dari cukup membuatku kembali ke alam sadar. Sedari tadi sambil menunggunya memperbaiki rantai sepeda yang lagi-lagi copot, aku memang melamun.
Hari ini, aku dan Aryan akan mengunjungi Perpustakaan sentral yang bertempat di Jalan Martadinata dekat sekolahku. Kami memang sering mengunjunginya sekadar membaca atau meminjam buku, kemudian mengembalikannya sesuai jatah waktu yang diberikan Petugas Perpustakaan. Biasanya di hari libur begini, perpustakaan itu akan ramai pengunjung dari berbagai daerah atau kota. Selain karena statusnya yang sentral, perpustakaan itu mengoleksi banyak buku fiksi dan non fiksi bahkan pengarangnya pun dari berbagai negara. Tak heran menarik banyak pengunjung setiap harinya.
Sebenarnya aku malas sekali jika harus ke sana di hari libur, tetapi Aryan memaksaku untuk menemaninya. Dia memang selalu menyebalkan.
Aku turun di pijakan sepeda saat tiba di halaman parkir Perpustakaan. Parkiran yang lebarnya hampir setengah lapangan sepak bola ini terasa sesak. Mobil-motor berbaris rapi terpisah hingga memenuhi area parkiran. Yang tersisa hanya sepetak jalan menuju pintu Perpustakaan.
Aku dan Aryan berjalan bersisian sembari mengamati kendaraan-kendaraan modern yang pastilah dimiliki masyarakat kalangan atas.
Di sebelahku Aryan menyeletuk, "Bayangkan jika aku jadi tukang parkir di sini, satu kendaraan akan kuberi tarif lima puluh ribu rupiah. Kalikan lima puluh dengan jumlah kendaraan yang kira-kira berjumlah 1000 buah, dan aku akan mendapatkan uang lima puluh juta dalam sehari, fantastis!"
Aku melambaikan tangan di depan wajahnya. "Bayangkan pula aku jadi salah satu pemilik mobil di sini, kalau aku tahu tukang parkirnya kamu, langsung kutinggalkan tempat ini dan cari perpustakaan lain."
Kami tertawa membuat beberapa pasang mata mengindahkan. Tiba di depan pintu, aku terperangah. Lihatlah, banyak sekali pengunjung! Sebagian sedang membaca sangat khusyuk di kursi yang telah disediakan, sebagiannya lagi hilir-mudik mencari judul buku yang menarik. Namun, satu yang patut diapresiasi, para pengunjung mematuhi tata tertib perpustakaan ini dengan baik. Mereka tidak berisik atau melakukan hal-hal yang dapat mengganggu pengunjung lain. Kujamin membaca pun mereka dalam hati!
Setelah mengisi daftar kunjungan, kami berpisah mencari judul buku untuk dibaca. Aku melihat-lihat rak tengah khusus buku non fiksi. Aku lebih menyukai karya sastra seperti novel atau puisi-puisi yang dibukukan daripada buku pelajaran.
Saat tanganku hendak mengambil salah satu buku di rak paling atas, seseorang lebih dulu mengambilnya. Aku baru saja akan protes, tetapi urung saat menyadari ternyata Damar pelakunya. Hatiku berdampung hebat.
Kukira aku akan mengalami adegan pasaran dimana cowok idaman membantumu mengambil buku dan wajahmu akan memerah saat kamu menerima buku yang disodorkan, tetapi sayangnya sutradara tidak memilihku menjadi pemeran utama.
"Ini buku yang kaucari, 'kan, Yu?"
"Oh, iya! Eh ... Rona, kamu juga di sini?"
Aku tersadar saat Dahayu menyapaku. Kupaksakan bibirku mengembang. "I-iya."
Kupikir aku tidak perlu menjelaskan bagaimana perasaanku. Satu jam yang lalu baru saja aku mengkhayal sebahagia apa jatuh cinta itu? Satu jam yang lalu, baru saja aku berangan-angan semenakjubkan apa saat jatuh kita ditunggu seseorang? Satu jam yang lalu, aku bermimpi semua angan dan harapanku akan terkabul suatu saat. Baru aku sadar, beberapa second yang lalu, aku tak sengaja menginjak tanah rapuh yang membuatku jatuh dalam lubang tak berdasar.
Dan kumengerti sekarang, aku mungkin sedang patah hati.
"Kamu sudah dapat buku bacaan, Ron?" tanya Aryan, kemudian dia berbasa-basi sedikit dengan Dahayu.
Damar, cowok sipit itu, entah sejak kapan sudah menghilang. Mungkin dia beralih ke rak buku lainnya. Mungkin juga dia sedang mencari judul buku lagi untuk Dahayu. Aku semakin menunduk, menghela napas. Rasanya di dalam sana ada yang sakit sekali, padahal sebelumnya aku yakin ragaku sehat walafiat.
"Kalian sering mengunjungi perpustakaan ini, ya?" Dahayu bertanya sumringah
Aryan tersenyum seraya mengangguk, sementara aku hanya menatapnya tanpa menjawab. Kutarik tangan Aryan dan pergi dari sana. Mau bagaimana lagi? Aku tak menjamin senyum palsuku akan bertahan lebih lama daripada ini.
**
Di sepanjang perjalanan, Aryan terus menanyaiku. Semenjak dia melihat mataku memerah seperti menahan tangis sehabis keluar dari perpustakaan, tak bosan kepalanya melirik ke belakang. Aku sempat memukulnya, tetapi agaknya itu tak berpengaruh untuk orang semacam Aryan.
Tiba di rumah saat aku hendak membuka gerbang, Aryan masih belum menyerah. Ia menjegal tanganku, tak sedikit pun membiarkanku lepas darinya.
"Bilang dulu kamu kenapa? Baru kubiarkan kamu masuk."
"Aku cemburu!" sentakku. Kurasakan genggaman tangan Aryan mengendur.
"C-cemburu sama siapa?"
"Sama Mbak-mbak yang tadi ngobrol sama kamu!"
Maaf Aryan aku terpaksa berbohong. Entah percaya atau tidak setelah mendengar kebohonganku, Aryan melepaskan genggamannya dan membisu. Aku tak bermaksud membohonginya, aku hanya menggertak ... agar Aryan melepaskanku dan membiarkanku masuk. Aku sudah tidak tahan lagi, aku ingin menangis tersedu-sedu.
Karena ini kali pertamaku patah hati, dan rasanya amat tak terkendali.
***
Klik bintang jika kamu suka this chapter! Takkan jadi dosa kok:'
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Hati Satu (Rahasia)
Ficțiune adolescențiTeruntuk dia di antara surat-surat mungil tak berbalas, bisakah aku merengkuh dengan sebenar-benarnya? Pun, teruntuk kamu yang telah sabar mencintai, maukah jatuh cinta sekali lagi? :: Rona tahu, memu...