°Chapter Tiga°

261 22 0
                                    

Happy Reading Guys😘
🍀🍀🍀

°
°
°
°
°

Esa's POV

"Teyus nih ya oom, ulan tadi peyuk Etan di eket Sasa, ampai Sasa nda mau makan baleng agi ama Etan, kan Etan dadi degana gitu.."

Gue menatap wajah gembul milik bocah laki-laki yang tak lain adalah keponakan gue itu dilayar ponsel tanpa ada rasa bosan sama sekali. Sesekali gue terkekeh geli karena mimik wajah bocah itu tampak menggemaskan setiap kali menceritakan semua kegiatan disekolahnya hari ini.

Menjadi pendengar yang baik untuk Ethsan adalah salah satu rutinitas wajib gue setiap hari, jika tidak ingin menerima teror berupa panggilan puluhan kali dari anak laki-laki dari abang gue itu.

"Yaudah, kamu gebet aja dua-duanyaa, kan beres.." celetuk Gue asal yang langsung mendapat teriakan murka dari Ibu si bocah sebab dianggap mengajarkan hal tidak baik kepada putranya.

Gue? Tentu saja hanya bisa menyengir usai menguasai diri dari rasa terkejut. Yah bagaimana ngga terkejut pasalnya ibu dari keponakkan gue itu tidak tampak dilayar ponsel jadi gue pikir ini hanya percakapan random antara kami, dan lagipula gue juga hanya asal memberi saran, agar terkesan bisa memberi solusi, begitu.

"Ups... oom, udah ulu yaa nanti agi culhatnya.. ada ibu latu nih ntal ibu latu cembulu. Oya! oom juga biyangin papa ya, lindu itu belat. Etan nda kuat, bial papa aja..."

Panggilan video kami langsung terputus sesaat setelah kalimat absurd terlontar dari bibir bocah yang umurnya bahkan belum genap lima tahun itu. Menyisakan Gue yang lagi-lagi terkekeh geli seraya menggeleng kepala, takjub atas tingkah si kecil kesayangan gue itu.

Yah, Ibu ratu adalah sebutan kami untuk Thifa saat Gue dan Ethsan sedang menggibahinya. Sifat Thifa yang sudah berubah 160 derajat—ngga sampai 180 derajat sebab masih ada sifat aslinya menjadi seperti emak-emak pengendara motor berhijab panjanglah salah satu alasannya, dan juga cukup menyenangkan bagi gue melihat ibu satu anak itu menggerutu tidak jelas bahkan sampai berteriak kesal karena julukannya itu.

Setelah beberapa saat kekehan Gue berganti menjadi helaan napas kasar, hati gue serasa tercubit oleh makna yang tersirat didalam rangkaian kalimat absurd Ethsan, rasanya Gue ingin sekali mempertemukan dia dengan sosok Papa yang sangat dia rindukan hanya saja Gue sudah kepalang janji pada Thifa untuk merahasiakan segala tentang Ethsan dari keluarga Gue terutama Mas Edo, dan Gue tidak bisa begitu saja mengingkari janji itu

"Aaaggghhhhh.."

Gue terlonjak kaget karena tiba-tiba mendengar suara pekikan kencang seseorang, padahalkan Gue yang sedang frustasi karena dilema kenapa justru terkejut dengan teriakan orang asing, sembari memasukan ponsel ke saku celana gue mulai mencari sumber suara tadi. Jangan sampai Gue mendapat pasien dengan kondisi mengenaskan karena jatuh dari lantai 5 gedung ini

Dan benar saja, seorang remaja tengah berdiri diatas tembok pembatas. Untuk ukuran wanita dia tergolong cukup berani, Gue saja ngga berani buat sekedar duduk disana. Ya, walaupun pijakan dinding itu selebar tiga pijakan orang dewasa, tapi tetap saja rasanya sangat mengerikan bagaimana kalau tiba-tiba ada angin topan dan terdorong hingga jatuh

Tunggu! Tapi bukannya itu tujuan orang naik kesana? Untuk melarikan diri dari masalah yang dihadapi dengan jalan pintas, bunuh diri.

Only You, Always.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang