13

6 0 0
                                    

“Kamu tahu, ciri-ciri orang  yang sedang jatuh cinta adalah merasa bahagia dan sakit pada waktu bersamaan. Merasa yakin dan ragu dalam satu hela nafas. Merasa senang sekaligus cemas menunggu hari esok”
-Tere Liye-

Pekat malam tahun 2038.
Ruangan kamar kian lenggang, pasien sebelah kamarku telah meninggalkan rumah sakit sore tadi. Rio namanya, usia dia 15 tahun. Seminggu yang lalu kakinya di amputasi karena terlibat kecelakaan beruntun, kaki kirinya terjepit badan kendaraan, tak bisa di selamatkan.

Mungkin bila aku di posisi Rio, aku akan menangis sejadi-jadinya, tak ingin melakukan apapun. Lain hal dengan Rio, dia anak berbeda, dia hanya meneteskan air mata seperlunya. Selebihnya dia habiskan waktu menemaniku, menceritakan berbagai hal padaku, bagaimana kerennya dia bermain bola basket, bagaimana dia memenangkan berbagai kejuaraan.

Kemarin sore sebelum pergi, Rio berpamitan, dan dia meninggalkan nomor ponselnya, dia bilang akan berusaha menjadi pebasket lagi dengan kondisinya yang sekarang.

“atlet paragames juga ndak kalah keren kan aunty?” serunya dengan bingkai mata nya yang berbinar. Ah Rio kamu selalu hebat nak.

“aunty juga harus sembuh yah, minggu depan Rio mau main kesini lagi” Rio melambaikan tangan. Aku membalasnya, terharu.

Malam menggulung rindu. Arkana belum pulang, dia ada pertemuan dengan perusahaan asing. Itu katanya.

Dan Alfa dia sudah tidur nyenyak di sofa rumah sakit. Sebelum tidur Alfa sempat bercerita bahwa dia sudah memutuskan untuk mengambil fakultas kedokteran. Alasan utamanya walau Alfa tak mengemukakan secara gambalng, jelas itu karena aku. Apakah Alfa memforsir dirinya tuk mengupayakan segala sembuhku? Sungguh aku menyayanginya, tak ada niat sedikitpun tuk menjadi kenang buruk untuknya.

Berulang kali ku ucap bahwa Alfa adalah pelengkap dalam bahagiaku. Dia hadir kala aku dan Arkana diliputi bahagia. Alfa Pratama, adalah awal dan akhir untuk keindahan anugrah Sang Maha berikan.

Masa-masa melahirkan adalah hal yang tak terlupa, berapa cairan infus habis menyokongku melewati 18 jam proses kelahiran. Usahaku ingin melahirkan secara normal tak direstui oleh Sang pemilik takdir. Pembukaannya terlalu lambat, sedangkan ketuban sudah pecah dari bukaan pertama. Caesar adalah pilihan yang kami tempuh. Alfa lahir dini hari dengan bobot 3,8 kilogram.

Tangisnya meluruhkan segala kegentingan, Alfa damai dengan tangisnya. Aku mencintainya.
Tujuh belas tahun telah berlalu dan kini Alfa sudah beranjak dewasa, sosok penerus dengan pemikiran kritis temurun dari Arkana dan jatuh hati dengan aksara layakku. Perpaduan yang indah, dan celakanya aku sungguh tidak siap untuk kehilangan keping memori mengenai segalanya.

Aku takut melupakan Arkana, aku takut tak mengenali Alfa. Keduanya adalah belahan hati serta kepingan terpenting dalam dua puluh tahun ke belakang. Aku tak siap sungguh.

“Fa belum tidur?” Arkana dari ambang pintu, aku menggeleng sorot mataku masih terkunci pada Alfa

“kenapa Fa?” tanya Arkana mendekat,

“tak bisakah kita pulang saja?” aku bertanya balik pada Arkana,

“kenapa kamu suntuk disini?” pertanyaan datar Arkana lolos dari mulutnya. Aku tau Arkana tak suka melihat rengekanku, dia tak pernah suka aku bantah, dan aku pun tak pernah suka berada disini, melihatnya dan Alfa bergantian menjaga ku.

“aku hanya ingin pulang” lirihku,

“Fa, kamu sakit... nanti bila kamu sudah sembuh, pasti kita pulang” pernyataan Arkana menyayatku

“aku takkan bisa sembuh, setidaknya buat aku bahagia di sisa umurku Na” cetusku, Arkana diam tak menyahut.

“urus kepulanganku besok sore, atau kamu takkan melihatku di ranjang ini pada besok malam! Selamat tidur!” ancamanku seharusnya manjur untuk Arkana. Aku menarik selimut lalu memejamkan mata.

“tak bisakah kamu tak melupakan aku? Aku takut Fa... aku takut kamu lupa atas segala perjalanan kita sampai titik ini” lirihan Arkana menyayatku tuk kedua kali, dan menggiringku pada alam mimpi. Mimpi yang sama ketika aku pertama bertemu dengan Arkana.

Arkana & Hayfa (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang