18

5 0 0
                                    


“siapa perempuan di dunia ini yang tidak bahagia jika orang yang ia cintai, memilihnya menjadi ibu dari calon anak-anaknya kelak”
-Abbas Aditya dari buku Before Happiness Hal 39-

Oktober 2018

Sudah tiga hari ini aku uring-uringan tak karuan. Kerja tak semangat, di indekos hanya terlentang dan menatap langit-langit kamar.

Bagaimana tidak, empat hari yang lalu Arkana menyuruhku untuk hadir di acara wisudanya, yang akan di laksanakan tiga hari lagi dari sekarang. Sejatinya aku sudah membeli tiket kereta api pulang-pergi untuk menghadiri acaranya. Hanya saja ada kesangsian untuk hadir di acara formal itu. Aku minder.
Aku hanyalah pegawai toko keramik, bukan orang kaya, walau aku terbiasa hadir pada acara gathering  di hotel ternama Jakarta. Tapi tetap saja berbeda, ini mengenai kelulusan Universitas, dan aku hanyalah lulusan Sekolah Menengah Kejuruan, yang nyasar di toko perlengkapan bangunan. Bukankah ini memalukan? Tetapi Arkana memaksaku untuk hadir, karena baginya ini adalah the best moments he ever had.

Sepertinya aku menyerah, aku harus hadir dengan rasa tidak enak pada Arkana, itu jalan satu-satunya aku bisa menghilangkan rasa minder yang aku miliki.bagaimanapun ini adalah pertemuan kedua kami, dan aku harus berada di sana, dimana momen terbaik Arkana terjadi, setidaknya aku adalah teman yang akan menjadi kenang baik untuknya.

***
Tiga hari bagai berlari, pagi datang seenaknya, tanpa permisi. Pukul 04.00 WIB aku sudah berada di dalam kereta api, dengan fobia yang semakin mudah untuk aku kendalikan. Target sampai di universitasnya adalah pukul 10 pagi, semoga tak terlambat. Aku sudah berjanji untuk menghadiri wisudanya jangan sampai Aku melewatkan momen membahagiakan ini.

Pukul 10.25 WIB, gerbang Universitas Amikom Jogjakarta. Aku terlambat sepertinya, banyak para wisudawan dan wisudawati telah saling tegur, tak ada ceramah dari dosen. Edaran mataku menelusup mencari seseorang yang Aku kenali, tak berbuah.

“ aku terlambat” lirihku,

Tuk...tuk...tuk suara sepatu pantopel mendekatiku,

“kamu terlambat satu jam” seru suara bariton,

Aku mendongak spontan, Arkana dengan muka serius.

“maaf” cicitku,

Kali ini baru ku lihat muka Arkana seseram ini, “nyesal rasanya datang” batinku mendumel sendiri,

“Hahahahaha”ketawa Arkana meledak,

“baru kali ini liat mukamu yang semenyesal itu, lucu juga” Arkana berkata sambil menahan tawa,

Aku menatap Arkana dengan tatapan membunuh,

“Jadi kamu mengerjai ku?”tanyaku ketus,

“canda Fa”celetuknya “Mau berfoto dengan ku?” lanjutnya,

Aku tersenyum lalu mengangguk tanda setuju.

***

“Hahahaha” tawaku lepas, peluh bercucuran, aku dan Arkana sudah berada di pantai. Sama-sama masih mengenakan pakaian yang formal, jelas salah kostum kita. Arkana masih mengenakan setelan Tuxedonya, dan aku masih dengan kulot hitam berpadu kemeja putih dan hijab hitam.

Sedari tadi banyak pengunjung silih berganti melihat keanehan kami,jelaslah aneh mana ada pergi kepantai dengan pakaian amat formal macam kami. Kalau bukan karena Arkana memaksa aku takkan mau.
Setelah kehadiranku ke acara wisudanya, dia mengajakku kesini.pantai. sepertinya dia selalu ingat tentang segala hal mengenai sukaku. Setelah setengah jam kami berlarian tak tentu arah, hingga keringat berjatuhan, kami berduduk di tepian pantai. Aku sangat senang, pada akhirnya bisa melepaskan rindu pada pantai.

“bagaimana? Sudah tidak rindu dengan pantai?” tanya Arkana, yang sudah duduk di sampingku,

“sudah terobati”jawabku dengan pandangan tetap ke depan,

“syukurlah Fa...” celetuknya,

Aku hanya mengangguk,

“Fa, menetaplah di Jogja”celotehnya,

“maunya sih gitu, tapi sayang aku tak punya sanak saudara disini” sahutku,
yang masih tak tau arah pembicaraan ini,

“Fa... menikahlah denganku”serunya spontan,

Aku menoleh, melotot, tak percaya apa yang Arkana ucap, ku rasa aku salah dengar, atau Arkana yang kesambet oleh hantu di pantai ini.entahlah.

“apa maksudmu” tanya ku bingung,

“mari menua bersama, aku tak ingin berkencan, mari kita berkencan setelah menikah” proposal cinta sederhana muncul dari mulut Arkana,

Aku takjub,bagaimana seorang Arkana mampu mengambil langkah berani mengajakku lebih dari sekedar teman dan langsung mengajak ke gerbang resmi pernikahan.

Tak ada jawaban dari mulutku,
“Jadi? Will you marry me?”tanya Arkana memastikan,

“Of course I will”jawabku cepat.

“syukurlah ku kira, aku bakal di tolak”sahut Arkana lega, lalu merebahkan badannya di gundukan pasir. Hari ini adalah hitungan senja pertama untukku bersama Arkana. Juga hari ini pula janji menua dan memutih bersama terucap.

***

2038, senja ke 6840 bersama Arkana,
“ah proposal cintaku terlalu spontanitas, tidak ada romantis-romantisnya sama sekali”sungut Arkana di depanku dan Alfa, kita sedang mengobrol di kamar Rumah sakit.

“tapi gentle kok pah”timpal Alfa terkikik,

“Papahmu itu lelaki apa adanya banget, tapi mamah kadung suka sejak pertama kenal”sahutku, membuat Arkana malu,

“jangan memuji ku di depan Alfa dong, kan malu”gumam Arkana,
“hahahahaha” tawaku dan Alfa meledak bercampur menjadi satu, melihat wajah Arkana yang bak kepiting rebus.

Alfa melihat kami bergenggaman tangan,Arkana mengajakku ke taman dan Alfa hanya menetap di kamar,sepertinya dia ingin belajar. Meja sudah tertumpuk banyak hal mengenai buku-buku pelajaran Alfa, sebelum Alfa benar-benar fokus pada pelajaran, dia sempat mengucapkan suatu hal.

“Tuhan mereka adalah bagian terpenting untuk kehidupanku, tolong berilah jeda untuk selalu berbahagia semacam hari ini”-Alfa-

Arkana & Hayfa (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang