Senin pagi dimulai dengan keheningan seperti biasanya, hanya saja hari ini Mbak Putri ikut sarapan di rumah bersama sang bos dan anaknya. Dewa sesekali melirik pada Bunda yang tampak sibuk membagi atensi antara ponsel dan sarapan. Pemuda itu menghela napas dan meletakkan sendoknya ke atas piring, lanjut mengangkat piring bekasnya ke wastafel. Dia sudah terbiasa mencuci sendiri sejak kecil—sesudah nenek yang dulu mengasuhnya melepasnya di sini bersama Bunda—dan jadi kebiasaan sampai sekarang.
“Kamu udah selesai sarapan, Dew? Cepet amat?” Mbak Putri angkat suara dan mendekatinya dengan dua piring bekas. “Sini, Mbak aja yang cuci, kamu pakai sepatu sana! Biar Mbak sama Bunda yang anterin ke sekolah.”
Mbak Putri dapat mendengar decakan tidak terima dari Adera. Tapi ia memilih tidak peduli. Mbak Putri sebenarnya tidak habis pikir dengan alasan Adera membenci Dewa habis-habisan, padahal laki-laki itu benar-benar anak yang manis. Ia penurut dan tidak pembantah seperti anak remaja kebanyakan. Satu fakta mutlak lainnya, Dewa sangat menyayangi bundanya, sampai Mbak Putri berpikir bila suatu masa lelaki itu kehilangan sang bunda, maka separuh dunianya akan hancur lebur.
“Nggak deh, Mbak. Nggak perlu. Aku pake motor sendiri, lagian Mbak sama Bunda juga ada urusan di Bandung, 'kan? Entar malah terlambat loh.” Dewa menolak halus lantaran tahu dengan penolakan Bunda.
Udah biasa, 'kan?
“Searah loh, Dew, sama sekolah kamu. Udah nggak usah banyak ngebantah, ikut aja kali.” Mbak Putri menyalakan keran dan membilas tiga piring itu.
Dewa masih bergeming.
“Dew, jangan ngelamun. Sana pakai sepatu.” Mbak Putri menyadarkan laki-laki itu.
Lantas, Dewa mengangguk menyetujui.
Ia duduk di teras sambil menunggu Mbak Putri keluar dari rumah. Bunda sudah duduk di dalam mobil sambil memegang beberapa lembar teks, barangkali naskah untuk syutingnya nanti.
Jadi, lima menit kemudian mereka bertolak ke sekolah Dewa tanpa obrolan apapun. Mbak Putri yang menyetir cuma melirik kedua majikannya yang duduk di belakang lewat spion tengah. Adera sibuk dengan bacaannya, dan Dewa tampak melamun menghadap jendela mobil yang terbuka.
“Dew, udah sampai.”
Laki-laki itu tersentak dan membuka pintu dengan buru-buru. Mata kecilnya menatap pada Bunda yang tidak tergerak sedikit pun untuk menatapnya. “Hati-hati, Mbak, Bunda. Bunda jangan kelelahan.”
Adera masih tidak peduli. Mbak Putri yang membalasnya dengan acungan jempol dan melajukan mobilnya kembali. Ketika kendaraan roda empat itu menjauh, Dewa baru ingat, jaket denimnya tertinggal di kursi, tepat di sebelah Bunda.
💧
Upacara berakhir lima belas menit lalu dan semua siswa sudah kembali ke kelas masing-masing. Dewa baru akan meletakkan kepalanya di atas meja tatkala suara sirene ambulans terdengar. Seketika kelas ricuh dan berbondong-bondong penghuni kelas Dewa berhambur ke teras kelas untuk menyaksikan mobil putih itu tiba di sekolah. Dalam benak mereka dipenuhi beragam tanya yang tidak bertemu pangkalnya. Dewa juga terdorong penasaran untuk melihat apa yang terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
After You've Gone
Teen FictionBelasan tahun, Adera habiskan untuk mengabaikan putra semata wayangnya. Membiarkan anaknya hidup dalam kesepian, menjadikan laki-laki itu alasan untuk segala kesalahan yang pernah dia lakukan bersama seseorang. Sampai dia sadar, kesalahannya cukup...